tag:blogger.com,1999:blog-37541865533937449302024-03-19T15:47:01.395+07:00WSDLayanan Pajak & Pembukuan<br>
Online Collaboration<br>
Contact: <a href="mailto:warsidi@unsoed.ac.id">warsidi@unsoed.ac.id</a>Unknownnoreply@blogger.comBlogger351125tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-70593720911499393312023-09-22T02:31:00.001+07:002023-09-22T02:34:55.519+07:00Imbalan natura/kenikmatan kini jadi kena pajak<p>Berlaku mulai 1 Juli 2023, penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan kenikmatan merupakan penghasilan yang menjadi objek PPh. Ketentuan tersebut diatur tata cara pelaksanaannya dalam PMK Nomor 66 Tahun 2023 (PMK-66/2023).</p> <p>Apa yang dimaksud dengan istilah natura? Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura berarti penggantian atau imbalan dalam bentuk barang selain uang yang dialihkan kepemilikannya dari pemberi kepada penerima.</p> <p>Apa yang dimaksud dengan istilah kenikmatan? Penggantian atau imbalan dalam bentuk kenikmatan adalah penggantian atau imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan pelayanan yang bersumber dari aktiva:</p> <ul style="text-align: left;"> <li>pemberi penggantian atau imbalan</li> <li>pihak ketiga yang disewa atau dibiayai pemberi,</li> </ul> <p>untuk dimanfaatkan oleh penerima.</p> <h2 style="text-align: left;">Ketentuan bagi pemberi kerja</h2> <p>Sesuai dengan prinsip taxability & deductability, biaya penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan kenikmatan juga dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja.</p> <p>Perlakuan biaya penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan kenikmatan dibedakan menurut masa manfaatnya.</p> <p>Pengeluaran untuk biaya penggantian atau imbalan dalam bentuk kenikmatan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sesuai dengan ketentuan PPh.</p> <p>Pengeluaran untuk biaya penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang mempunyai masa manfaat kurang dari satu tahun dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran.</p> <p>Pemberi kerja atau pemberi imbalan atau penggantian melaporkan biaya penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan beserta pegawai dan penerima imbalan atau penggantian dalam SPT tahunan.</p> <p>Ketentuan di atas berlaku sejak:</p> <ul style="text-align: left;"> <li>tanggal 1 Januari 2022, bagi Pegawai atau penerima penggantian atau imbalan yang menerima atau memperoleh penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan dari pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum tanggal 1 Januari 2022, atau</li> <li>tahun buku 2022 dari pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dimulai, bagi Pegawai atau penerima penggantian atau imbalan yang menerima atau memperoleh penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya.</li> </ul> <h2 style="text-align: left;">Makanan/minuman bagi seluruh pegawai</h2> <p>Makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan minuman bagi seluruh pegawai dikecualikan dari objek PPh bagi pegawai, tetapi merupakan biaya yang dapat dikurangkan bagi pemberi kerja.</p> <p>Makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan minuman bagi seluruh pegawai meliputi:</p> <ul style="text-align: left;"> <li>makanan dan minuman yang disediakan oleh pemberi kerja di tempat kerja</li> <li>kupon makanan dan minuman bagi pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat memanfaatkan pemberian di tempat kerja, meliputi pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya </li> <li>bahan makanan dan bahan minuman bagi seluruh pegawai dengan batasan nilai tertentu.</li> </ul> <p>Contoh-contoh perlakuan PPh atas penggantian dan imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan diberikan dalam artikel terpisah.</p> <p>Selain makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, PMK-66/2023 juga mengecualikan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan berikut:</p> <ul style="text-align: left;"> <li>natura dan kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu</li> <li>natura dan kenikmatan yang hams disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan</li> <li>natura dan kenikmatan yang bersumber atau dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan anggaran pendapatan dan belanja desa</li> <li>natura dan kenikmatan dengan jenis dan batasan tertentu</li> </ul> <p>Bentuk-bentuk imbalan di atas dibahas dalam artikel terpisah.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-33332387430815682023-08-31T09:48:00.000+07:002023-08-31T09:48:30.095+07:00Amortisasi fiskal harta tak berwujud<p>Amortisasi sebenarnya serupa dengan <a href="https://www.warsidi.com/2023/08/penyusutan-fiskal.html">penyusutan</a> (depresiasi). Amortisasi adalah alokasi biaya perolehan harta atau aset tak berwujud, sedangkan penyusutan berarti alokasi biaya perolehan harta berwujud.</p> <p>UU PPh pasal 11A mengatur amortisasi dilakukan atas <b>pengeluaran untuk memperoleh</b> harta tak berwujud, bukan atas fisik harta tak berwujud itu sendiri. Amortisasi juga dilakukan atas <b>biaya perpanjangan hak atas tanah</b>, berupa hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, serta atas muhibah (goodwill).</p> <p>Amortisasi hanya dilakukan atas pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun. Harta dan hak yang diamortisasi adalah yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan.</p> <h2>Metode amortisasi fiskal</h2> <p>Amortisasi dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar (<b>metode garis lurus</b>), atau dalam bagian-bagian yang menurun (<b>metode saldo menurun</b>) selama masa manfaat. Amortisasi dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran (untuk metode garis lurus), atau dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus (untuk metode saldo menurun).</p> <p>Metode yang dipilih harus dilakukan secara konsisten (taat asas), yang berarti digunakan seterusnya.</p> <h2>Kapan amortisasi dimulai?</h2> <p>Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Untuk bidang usaha tertentu, saat dimulainya amortisasi bisa ditetapkan berbeda agar sesuai dengan karakteristik bidang usaha.</p> <h2>Masa manfaat dan tarif amortisasi fiskal</h2> <p>Masa manfaat dan tarif amortisasi diatur secara spesifik dalam ketentuan PPh, lebih ketat daripada ketentuan dalam standar akuntansi. Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Untuk menghitung amortisasi fiskal, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut.<img title="amortisasi fiskal" style="margin: 0px auto; float: none; display: block; background-image: none;" border="0" alt="amortisasi fiskal" src="https://drive.google.com/uc?id=1CtvgWRz9FiEq8yvYDDVNrtCmR9_cZGHG" width="631" height="124" /> <p>Wajib Pajak bisa memilih metode amortisasi, garis lurus atau saldo menurun, berdasarkan masa manfaat serta tarif amortisasi, sesuai dengan kelompok masa manfaat yang diatur dalam ketentuan ini.</p> </p> <p>Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun atau 8 tahun. Jika masa manfaat yang sebenarnya 5 tahun, harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun.</p> <p>Jika harta tak berwujud mempunyai masa manfaat melebihi 20 tahun, amortisasi dilakukan sesuai dengan masa manfaat untuk harta tak berwujud kelompok 4, atau sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak.</p> <p>Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal perusahaan bisa dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan ini.</p> <h2>Metode satuan produksi</h2> <p>Wajib pajak harus menggunakan metode satuan produksi untuk mengamortisasi pengeluaran dalam rangka perolehan hak penambangan minyak dan gas bumi.</p> <p>Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.</p> <p>Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.</p> <p><b>Pengeluaran terkait penambangan selain minyak dan gas bumi</b>. Metode satuan produksi juga harus digunakan untuk mengamortisasi pengeluaran dalam rangka perolehan hak penambangan <b>selain</b> minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber daya alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Penerapan metode satuan produksi untuk mengamortisasi pengeluaran terkait hak-hak tersebut hanya boleh dilakukan setinggi-tingginya 20% per tahun.</p> <p>Sebagai contoh, pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 ton kayu, berjumlah Rp500.000.000. Pengeluaran tersebut diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan.</p> <p>Jika dalam 1 tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 ton (30% dari potensi yang tersedia), besarnya amortisasi yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut hanya Rp20.000.000, 20% dari Rp100.000.000.</p> <h2>Pengeluaran sebelum operasi komersial</h2> <p>Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun harus <b>dikapitalisasi</b> dan kemudian diamortisasi dengan mengacu pada kelompok-kelompok harta tak berwujud yang ditentukan dalam UU PPh.</p> <p>Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial mencakup biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial. Contohnya adalah biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan. </p> <p>Pengeluaran sebelum operasi komersial <b>tidak</b> mencakup biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Pengeluaran operasional yang rutin tidak boleh dikapitalisasi, tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.</p> <h2>Pengalihan harta tak berwujud</h2> <p>Harta tak berwujud serta hak-hak lainnya, yang sedang digunakan dan amortisasinya belum selesai, bisa saja dialihkan kepada pihak lain. Contoh pengalihan yang paling umum adalah penjualan. Pada tahun terjadinya pengalihan, harga jual atau nilai pasar harta atau hak yang dialihkan merupakan penghasilan, dan nilai buku yang belum diamortisasi menjadi kerugian yang bisa dikurangkan.</p> <p>Sebagai contoh, PT XERT mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 barel, PT XERT menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga jual sebesar Rp300.000.000. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:</p> <ul> <li>Harga perolehan = Rp500.000.000</li> <li>Amortisasi yang telah dilakukan = 100.000.000/200.000.000 × Rp500.000.000 = Rp250.000.000</li> <li>Nilai buku harta = Rp500.000.000 – Rp250.000.000 = Rp250.000.000, menjadi unsur biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan neto fiskal</li> <li>Harga jual = Rp300.000.000, merupakan penghasilan yang menjadi objek PPh, digabungkan dengan penghasilan-penghasilan lainnya dalam menghitung penghasilan neto fiskal</li> </ul> <p>Dengan menggunakan sistem pencatatan berpasangan, transaksi di atas dibukukan dengan cara berikut:</p> <ul> <li>Debit: Kas Rp300.000.000</li> <li>Kredit: Harta Rp250.000.000</li> <li>Kredit: Keuntungan Rp250.000.000 (objek PPh)</li> </ul> <h4>Pengalihan berupa bantuan, sumbangan, dan hibah</h4> <p>UU PPh pasal 4 ayat (3) mengatur bantuan, sumbangan, dan harta hibahan, yang memenuhi syarat dan ketentuan, dikecualikan dari objek pajak. Transaksi pengalihan merupakan bantuan, sumbangan, dan hibah yang dikecualikan dari objek pajak, diperlakukan dengan metode nilai buku oleh pihak yang mengalihkan dan menerima pengalihan.</p> <p>Dengan kata lain, nilai sisa buku dari pihak yang mengalihkan langsung dicatat oleh pihak yang menerima, tanpa memperhitungkan harga pasar. Bagi pihak yang mengalihkan nilai sisa harta atau hak bukan merupakan biaya yang dapat dikurangkan, dan bagi pihak yang menerima nilai sisa itu juga bukan merupakan penghasilan.</p> <p>Dengan data yang sama dengan PT XERT di atas, kecuali harga jual, transaksi di atas dibukukan dengan cara berikut:</p> <ul> <li>Debit: Ekuitas Rp250.000.000</li> <li>Kredit: Harta Rp250.000.000</li> </ul> <p>Jurnal di pihak penerima:</p> <ul> <li>Debit: Harta Rp250.000.000</li> <li>Kredit: Ekuitas Rp250.000.000</li> </ul> <p>Ketentuan terkait penyusutan dan amortisasi fiskal diatur lebih lanjut dalam <a href="https://www.pajak.go.id/id/peraturan/penyusutan-harta-berwujud-danatau-amortisasi-harta-tak-berwujud">PMK-72/2023</a>.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-54771212650117980052023-08-13T08:00:00.005+07:002023-08-13T08:00:00.126+07:00Penyusutan fiskal harta berwujud<p>UU PPh pasal 11 ayat (1) mengatur: penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut.</p> <p>Perhatikan, penyusutan dilakukan atas pengeluaran terkait harta berwujud, bukan terhadap harta berwujudnya secara fisik. <b>Penyusutan</b> adalah pembebanan sebagai biaya (alokasi biaya). Ketentuan di atas secara umum mengharuskan penyusutan dilakukan dengan <b>metode garis lurus</b> (dalam bagian-bagian yang sama besar).</p> <h2>Penyusutan tanah, bolehkah?</h2> <p>Penyusutan tidak dilakukan atas pengeluaran terkait tanah yang berstatus hak milik, dan pengeluaran yang pertama kali terkait hak atas tanah berupa hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai. Dengan kata lain, pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, dan <b>pengeluaran</b> untuk memperoleh tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, <b>yang pertama kali</b>, tidak boleh disusutkan.</p> <p>Apa yang dimaksud pengeluaran yang pertama kali? Pengeluaran terkait tanah yang pertama kali adalah biaya perolehan tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai dari pihak ketiga dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya.</p> <p>Perlakuan pajak atas pengeluaran terkait tanah yang pertama kali berbeda dengan biaya perpanjangan. Biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.</p> <p>Tanah bisa disusutkan hanya jika dipergunakan dalam perusahaan atau dimiliki dan nilainya berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan. Sebagai contoh, tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata.</p> <h2>Metode penyusutan fiskal</h2> <p>UU PPh pasal 11 ayat (2) mengatur: penyusutan atas pengeluaran harta berwujud, selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan secara taat asas.</p> <p>Berdasarkan ketentuan ayat (1) dan ayat (2) dapat disimpulkan, metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan UU PPh adalah:</p> <ul> <li>dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau <i>straight-line method</i>)</li> <li>dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau <i>declining balance method</i>)</li> </ul> <p>Metode garis lurus wajib digunakan untuk bangunan. Harta berwujud selain bangunan bisa menggunakan salah satu dari metode di atas.</p> <p>Metode penyusutan yang dipilih harus diterapkan secara taat asas (konsisten): metode yang sama digunakan dari tahun ke tahun.</p> <p>Sesuai dengan pembukuan (kebijakan akuntansi) Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu golongan.</p> <h3>Contoh penggunaan metode garis lurus</h3> <p>Sebuah gedung harga perolehannya Rp1.000.000.000. Masa manfaatnya adalah 20 tahun. Penyusutan setiap tahun dengan metode garis lurus adalah Rp50.000.000 (= Rp1.000.000.000 ÷ 20). Dengan kata lain, selama 20 tahun pengeluaran untuk memperoleh gedung dikurangkan sebagai biaya secara bertahap setiap tahun dengan jumlah yang sama Rp50.000.000.</p> <p>Jika pembukuan wajib pajak menggunakan masa manfaat yang lebih pendek, misalnya 15 tahun, dengan nilai residu ditetapkan Rp100.000.000, penyusutan setiap tahun menurut pembukuan adalah Rp60.000.000 [= (Rp1.000.000.000 – Rp100.000.000) ÷ 15].</p> <p>Dalam rekonsiliasi fiskal, selisih lebih besar Rp10.000.000 (= Rp60.000.000 – Rp50.000.000) disebut perbedaan temporer atau beda waktu. Perbedaan tersebut mengakibatkan penghasilan neto komersial lebih rendah daripada penghasilan neto fiskal yang seharusnya, sehingga mengharuskan penyesuaian fiskal positif.</p> <h3>Contoh penggunaan metode saldo menurun</h3> <p>Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2023 dengan harga perolehan sebesar Rp150.000.000. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 tahun. Dengan kata lain, tarif penyusutan adalah 50% (= 2 × 25%). Penghitungan penyusutannya dengan metode saldo menurun dua kali (double-declining) adalah sebagai berikut.</p> <ul> <li>2023: 50% × Rp150.000.000 = Rp75.000.000</li> <li>2024: 50% × (Rp150.000.000 – Rp75.000.000) = Rp37.500.000</li> <li>2025: 50% × (Rp75.000.000 – Rp37.500.000) = Rp18.750.000</li> <li>2026: Rp37.500.000 – Rp18.750.000 = Rp18.750.000</li> </ul> <p>Jika pembukuan wajib pajak menggunakan masa manfaat yang lebih panjang, misalnya 5 tahun, tarif penyusutan menjadi 40% (= 2 × 20%). Penghitungan penyusutan menurut pembukuan adalah sebagai berikut.</p> <ul> <li>2023: 40% × Rp150.000.000 = Rp60.000.000; nilai buku Rp90.000.000</li> <li>2024: 40% × Rp90.000.000 = Rp36.000.000; nilai buku Rp54.000.000</li> <li>2025: 40% × Rp54.000.000 = Rp21.600.000; nilai buku Rp32.400.000</li> <li>2026: 40% × Rp32.400.000 = Rp12.960.000; nilai buku Rp19.440.000</li> <li>2027: Rp19.440.000; nilai buku Rp0</li> </ul> <p>Pada akhir tahun 2023, penyusutan komersial Rp60.000.000 lebih kecil daripada penyusutan fiskal yang seharusnya Rp75.000.000, mengakibatkan penghasilan neto komersial lebih tinggi sebesar Rp15.000.000 daripada penghasilan neto fiskal. Selisih Rp15.000.000 merupakan perbedaan temporer yang mengharuskan koreksi fiskal negatif.</p> <h2>Kapan penyusutan dimulai?</h2> <p>Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta, sehingga penyusutan pada tahun pertama dihitung secara pro-rata.</p> <p>Sebagai contoh, pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp1.000.000.000. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2023 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2024. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2024.</p> <p>Contoh lainnya, sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2023 dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000. Masa manfaat mesin tersebut adalah 4 tahun. Dengan tarif penyusutan <a name="_Hlk142429182">50%</a> (2 × 25%), penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut.</p> <ul> <li>2023: 50% × Rp100.000.000 × 6/12 = Rp25.000.000; nilai buku Rp75.000.000</li> <li>2024: 50% × Rp75.000.000 = Rp37.500.000; nilai buku Rp37.500.000</li> <li>2025: 50% × Rp37.500.000 = Rp18.750.000; nilai buku Rp18.750.000</li> <li>2026: Rp18.750.000; nilai buku Rp0</li> </ul> <p>Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dikaitkan dengan saat mulai berproduksi, bukan dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan.</p> <p>Sebagai contoh, PT XPlant yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2023. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2024. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2024.</p> <h4>Penyusutan aset yang direvaluasi</h4> <p>Jika Wajib Pajak melakukan penilaian kembali (revaluasi) aktiva berdasarkan ketentuan UU PPh pasal 19, dasar penyusutan harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.</p> <h2>Masa manfaat dan tarif penyusutan</h2> <p>Berbeda dengan akuntansi keuangan yang mendasarkan masa manfaat aset pada masa manfaat sesungguhnya atau masa manfaat sesuai intensi manajemen, masa manfaat dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan dalam UU PPh sebagai berikut.</p> <a href="https://drive.google.com/uc?id=1U1Lh2yUc1cwuguMW1DZ7WqGb0IJUWPDq"><img title="penyusutan fiskal" style="margin: 0px auto; border: 0px currentcolor; float: none; display: block; background-image: none;" border="0" alt="penyusutan fiskal" src="https://drive.google.com/uc?id=1piqJAdv52UkYoo7e-anPEnp9SubYnRLQ" width="703" height="233" /></a> <p>Bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama, atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun. Contohnya adalah barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.</p> <p>Jenis-jenis harta yang termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan untuk keperluan penyusutan diatur lebih rinci dalam PMK-96/PMK.03/2009.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-89825296282955054742023-08-12T08:00:00.009+07:002023-08-12T08:00:00.142+07:00PKP: pengusaha kena pajak<p>Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), selain mengatur Wajib Pajak (WP), juga mengatur Pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak (PKP).</p> <p>Istilah Pengusaha dalam KUP mengacu pada orang pribadi, atau badan dalam bentuk apa pun, yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.</p> <p>Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN.</p> <p>WP lebih berasosiasi dengan ketentuan Pajak Penghasilan (PPh), sedangkan PKP terkait dengan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).</p> <h2>Kewajiban menjadi PKP</h2> <p>UU KUP pasal 2 mengharuskan setiap WP sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN untuk melaporkan usahanya pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan, untuk dikukuhkan menjadi PKP.</p> <p>Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi <b>tempat tinggal</b> Pengusaha dan <b>tempat kegiatan usaha</b> dilakukan. Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi <b>tempat kedudukan</b> Pengusaha dan <b>tempat kegiatan usaha</b> dilakukan.</p> <p>Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di beberapa wilayah kantor DJP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, baik di kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.</p> <p>Fungsi pengukuhan PKP, selain dipergunakan untuk mengetahui identitas PKP yang sebenarnya, juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN dan PPnBM, serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.</p> <p>Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai PKP, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.</p> <h2>Tempat pelaporan usaha</h2> <p>Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat pelaporan usaha selain tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan tempat kegiatan usaha dilakukan. Bagi PKP tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP, selain tempat tinggal/tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan.</p> <p>WP orang pribadi pengusaha tertentu adalah WP orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat. Contohnya adalah pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan. Selain mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal, WP juga diwajibkan mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.</p> <h2>Pengukuhan PKP secara jabatan</h2> <p>Direktur Jenderal Pajak mengukuhkan PKP secara jabatan jika PKP tidak melaksanakan kewajiban untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.</p> <p>Pengukuhan PKP secara jabatan dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh DJP ternyata Pengusaha telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP.</p> <p>Kewajiban perpajakan bagi Pengusaha yang dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan dimulai sejak saat Pengusaha telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP, paling lama 5 tahun sebelum dikukuhkan sebagai PKP. Ketentuan ini mengatur bahwa dalam pengukuhan sebagai PKP secara jabatan harus memperhatikan saat Pengusaha memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP. Selanjutnya terhadap Pengusaha tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.</p> <p>Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, baik kepada Pengusaha maupun Pemerintah, berkaitan dengan kewajiban Pengusaha untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sebagai contoh, Pengusaha yang pengukuhan PKP-nya dilakukan secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.</p> <h2>Syarat untuk dikukuhkan sebagai PKP</h2> <p>Siapakah PKP? Secara prinsip, PKP bisa siapa saja, orang pribadi atau badan. Menurut definisinya, PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP/JKP. Faktanya adalah semua barang dan jasa sebenarnya kena pajak menurut UU PPN. Konsekuensinya, secara default Anda sebagai Pengusaha berpotensi menjadi PKP.</p> <p>Menurut ketentuan perpajakan, Pengusaha yang bukan PKP dipandang sebagai pengecualian. Siapakah Pengusaha yang boleh berstatus non-PKP? Jawaban singkatnya adalah Pengusaha Kecil. Ketentuan PPN pasal 3A ayat (1) mengatur pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh menteri keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.</p> <p>PMK-68/PMK.03/2010 yang pasal 1-nya diubah dengan PMK-197/PMK.03/2013 mengatur pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP atau JKP dalam rangka kegiatan usaha dengan jumlah peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000.</p> <p>Pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP atau JKP yang dilakukannya. Meskipun demikian, pengusaha kecil bisa saja memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.</p> <h2>Pencabutan pengukuhan PKP</h2> <p>Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan WP dapat melakukan pencabutan pengukuhan PKP. Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan PKP dalam jangka waktu 6 bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-28619974504392508732023-08-11T08:00:00.011+07:002023-08-11T08:00:00.131+07:00NPWP: nomor pokok wajib pajak<p><b>Nomor Pokok Wajib Pajak </b><b>(NPWP)</b> adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak. NPWP menjadi sarana dalam administrasi perpajakan, sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.</p> <p>NPWP bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan <b>nomor induk kependudukan</b><b> (NIK)</b>.</p> <h2>Kewajiban mendaftarkan diri sebagai wajib pajak</h2> <p>UU KUP pasal 2 mengharuskan setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif berdasarkan sistem <i>self assessment</i>, untuk mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak. NPWP diberikan kepada Wajib Pajak yang sudah terdaftar.</p> <p><b>Persyaratan subjektif</b> adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam UU PPh. UU PPh pasal 2 mengatur subjek pajak bisa orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, atau bentuk usaha tetap. Subjek pajak juga dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Dengan kata lain, subjek pajak adalah siapa saja yang berpotensi menjadi Wajib Pajak.</p> <p><b>Persyaratan objektif</b> adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan pemungutan sesuai dengan ketentuan UU PPh. <b>Wajib Pajak</b> bisa orang pribadi atau badan. Wajib Pajak meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan.</p> <p>Hukum pajak berlaku efektif bagi Wajib Pajak, dan menurut ketentuan ini Wajib Pajak, orang pribadi atau badan, wajib memiliki NPWP.</p> <p>NPWP merupakan sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu NPWP.</p> <p>NPWP juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan NPWP yang dimilikinya dalam dokumen perpajakan. Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP dikenai sanksi, misalnya berupa pengenaan pajak yang lebih tinggi.</p> <p>NPWP diberikan baik kepada Wajib Pajak badan maupun orang pribadi. Untuk NPWP orang pribadi, prinsip umumnya adalah satu keluarga satu NPWP, yaitu NPWP kepala keluarga (KK). Meskipun demikian, wanita kawin yang telah hidup berpisah (HB) atau menghendaki pemisahan penghasilan dan harta (PH) juga wajib mendaftarkan diri dan memiliki NPWP.</p> <p>Wanita kawin juga bisa saja memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah (MT). Atas pilihannya itu, wanita kawin tersebut bisa mendaftarkan diri dan memiliki NPWP sendiri.</p> <p>Dengan digunakannya NIK sebagai NPWP bagi penduduk Indonesia, mendaftarkan diri berarti mengaktifkan NIK untuk berfungsi sebagai NPWP. Bagi penduduk Indonesia yang sudah memiliki NPWP lama, mereka melakukan pemadanan NIK dengan NPWP lama yang sudah dimiliki.</p> <h2>Tempat pendaftaran wajib pajak</h2> <p>Wajib Pajak mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi <b>tempat tinggal</b> bagi Wajib Pajak orang pribadi, atau <b>tempat kedudukan</b> bagi Wajib Pajak badan.</p> <p>Meskipun demikian, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat pendaftaran selain tempat tinggal dan tempat kedudukan.</p> <p>Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat pendaftaran pada lebih dari satu kantor DJP, yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan tempat kegiatan usaha dilakukan.</p> <p>Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat. Contohnya adalah pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan. Orang pribadi pedagang elektronik itu wajib mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan juga mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.</p> <h2>Penerbitan NPWP secara jabatan</h2> <p>Direktur Jenderal Pajak menerbitkan NPWP secara jabatan jika Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya untuk mendaftarkan diri. Penerbitan NPWP secara jabatan dapat dilakukan jika berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh DJP ternyata orang pribadi atau badan telah memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP.</p> <p>Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang NPWP-nya diterbitkan secara jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP.</p> <p>Ketentuan di atas mengatur bahwa dalam penerbitan NPWP secara jabatan harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari Wajib Pajak. Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban perpajakan.</p> <p>Maksud dari ketentuan ini adalah untuk memberikan kepastian hukum, baik kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah, berkaitan dengan kewajiban untuk mendaftarkan diri dan hak untuk memperoleh NPWP. Sebagai contoh, NPWP diterbitkan secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.</p> <h2>Penghapusan NPWP</h2> <p>Penghapusan NPWP dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:</p> <ul> <li>diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh Wajib Pajak atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif</li> <li>Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha</li> <li>Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia, atau</li> <li>dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan NPWP dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif</li> </ul> <p>Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan NPWP dalam jangka waktu 6 bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-91365528594720045052023-08-10T08:00:00.004+07:002023-08-10T08:00:00.136+07:00Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon<p>Pajak karbon diatur secara umum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Subjek pajak karbon bisa orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.</p> <p>Dengan kata lain, objek pajak karbon adalah pembelian barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.</p> <p>Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon, atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Saat terutang pajak karbon ditentukan:</p> <ul> <li>pada saat pembelian barang yang mengandung karbon</li> <li>pada akhir periode tahun kalender dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu</li> <li>saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.</li> </ul> <p>Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO<sub>2</sub>e) atau satuan yang setara.</p> <p>Jika harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO<sub>2</sub>e) atau satuan yang setara, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO<sub>2</sub>e) atau satuan yang setara.</p> <p>Ketentuan mengenai pajak karbon di atas masih bersifat umum, dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi pemerintah untuk mengatur lebih lanjut. Ketentuan mengenai penetapan tarif pajak karbon, perubahan tarif pajak karbon, dan dasar pengenaan pajak diatur dengan PMK setelah dikonsultasikan dengan DPR.</p> <p>Ketentuan mengenai penambahan objek pajak yang dikenai pajak karbon diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan Pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN. Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.</p> <p>UU HPP juga mengatur sajib pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon, pengimbangan emisi karbon, dan mekanisme lain sesuai peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dapat diberikan pengurangan pajak karbon atau perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon.</p> <p>Ketentuan mengenai:</p> <ul> <li>tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, dan mekanisme pengenaan pajak karbon, dan</li> <li>tata cara pengurangan pajak karbon atau perlakuan lainnya atas pemenuhan kewajiban pajak karbon</li> </ul> <p>diatur dengan PMK.</p> <p>Ketentuan mengenai:</p> <ul> <li>subjek pajak karbon</li> <li>alokasi penerimaan dari pajak karbon untuk pengendalian perubahan iklim</li> </ul> <p>diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN.</p> <p>Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan terkait pajak karbon dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang KUP.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-52301920599369047932023-08-09T08:00:00.006+07:002023-08-09T08:00:00.138+07:00Bea meterai: pajak atas dokumen<p>Bea meterai adalah pajak atas dokumen. Apa yang dimaksud dengan meterai? Meterai adalah label atau carik, dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya, yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman, yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang digunakan untuk membayar pajak atas dokumen.</p> <p>Dokumen yang menjadi objek bea bea meterai dikenai bea meterai dengan tarif tetap sebesar Rp10.000.</p> <h2>Objek bea meterai</h2> <p>Bea meterai dikenakan atas dokumen. Apa yang dimaksud dengan dokumen? Dalam ketentuan bea meterai, dokumen adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.</p> <p>UU Bea Meterai pasal 3 ayat (1) mengatur dokumen yang dikenai bea meterai adalah:</p> <ul> <li>dokumen yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang bersifat perdata (huruf a)</li> <li>dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan (huruf b)</li> </ul> <p>Kejadian yang bersifat perdata (huruf a) adalah kejadian yang masuk dalam ruang lingkup hukum perdata mengenai orang, barang, perikatan, pembuktian, dan kedaluwarsa. Dokumen yang bersifat perdata meliputi:</p> <ul> <li><b>Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya</b>. Surat lainnya yang sejenis adalah surat yang sejenis dengan surat pernyataan, antara lain surat kuasa, surat hibah, dan surat wasiat. Rangkap adalah satuan dari jumlah dokumen. Sebagai contoh, surat perjanjian yang dibuat oleh dua pihak dalam dua rangkap, maka masing-masing dokumen terutang bea meterai.</li> <li><b>Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya</b>. Pada prinsipnya, bea meterai sebagai pajak atas dokumen hanya dikenakan satu kali untuk setiap dokumen. Hal ini mengandung arti bahwa grosse, salinan, dan kutipan akta notaris dikenai bea meterai yang sama dengan aslinya.</li> <li><b>Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya</b>. Salinan akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frasa “diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya”. Yang dimaksud dengan “kutipan akta” adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari akta dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum frasa “diberikan sebagai KUTIPAN”.</li> <li><b>Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun</b>. Surat berharga bisa berupa saham, obligasi, cek, bilyet giro, aksep, wesel, sukuk, surat utang, warrant, option, deposito, dan sejenisnya, termasuk surat kolektif saham atau sekumpulan surat berharga lainnya. Sebagai contoh, penerbitan 100 lembar saham yang dituangkan dalam satu surat kolektif saham, maka bea meterai hanya terutang atas surat kolektif sahamnya saja.</li> <li><b>Dokumen transaksi surat berharga</b>, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dokumen transaksi surat berharga bisa berupa bukti atas transaksi pengalihan surat berharga yang dilakukan di dalam bursa efek berupa <i>trade confirmation</i> atau bukti atas transaksi pengalihan surat berharga lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dokumen berupa akta notaris, kuitansi, atau dokumen lainnya, yang digunakan sebagai bukti atas transaksi pengalihan surat berharga yang dilakukan di luar bursa efek.</li> <li><b>Dokumen lelang</b> yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang.</li> <li><b>Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000 yang menyebutkan penerimaan uang, atau berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan</b>. Jumlah uang ataupun nilai nominal ini juga dimaksudkan jumlah uang ataupun nilai nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya, jumlah uang atau nilai nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat sehingga dapat diketahui apakah dokumen tersebut dikenai atau tidak dikenai bea meterai.</li> <li><b>Dokumen lain</b> yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.</li> </ul> <p>Bea meterai atas dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan mencakup:</p> <ol> <li>dokumen yang terutang bea meterai yang belum dibayar lunas, termasuk dokumen yang bea meterainya belum dibayar lunas, tetapi telah kedaluwarsa, dan</li> <li>dokumen yang sebelumnya tidak dikenai bea meterai karena tidak termasuk dalam pengertian objek bea meterai.</li> </ol> <p>Dokumen yang sebelumnya tidak dikenai bea meterai terlebih dahulu harus dilakukan pemeteraian kemudian pada saat akan dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan. Ketentuan ini menegaskan bahwa jenis dokumen dapat berubah menjadi jenis dokumen alat bukti di pengadilan karena digunakan untuk maksud yang berbeda dengan maksud saat dokumen tersebut dibuat.</p> <p>Apa yang dimaksud dengan pemeteraian kemudian? Pemeteraian kemudian adalah pemeteraian yang memerlukan pengesahan dari pejabat tertentu.</p> <p>Dokumen yang merupakan objek bea meterai yang telah dibayar bea meterainya, saat digunakan sebagai dokumen alat bukti di pengadilan, tidak wajib lagi dilakukan pemeteraian kemudian.</p> <h2>Bukan objek bea meterai</h2> <p>UU Bea Meterai pasal 7 mengatur bea meterai tidak dikenakan atas Dokumen yang berupa:</p> <ul> <li>Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang (huruf a)</li> <li>Segala bentuk ijazah (huruf b).</li> <li>Tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud (huruf c)</li> <li>Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (huruf d)</li> <li>Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (huruf e)</li> <li>Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi (huruf f)</li> <li>Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah (huruf g)</li> <li>Surat gadai (huruf h)</li> <li>Tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun (huruf i)</li> <li>Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter (huruf j)</li> </ul> <p>Dalam rangka menunjang kegiatan lalu lintas orang dan barang, dokumen-dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang tidak dikenai bea meterai. Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang (huruf a) meliputi:</p> <ol> <li>Surat penyimpanan barang</li> <li>Konosemen. Konosemen adalah surat muatan kapal atau surat keterangan (pengantar) barang yang diangkut dengan kapal.</li> <li>Surat angkutan penumpang dan barang</li> <li>Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang</li> <li>Surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim</li> <li>Surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5. Surat lainnya adalah surat yang tidak disebut pada angka 1 sampai dengan angka 5, namun karena isi dan kegunaannya dapat disamakan dengan surat dimaksud, maka surat yang demikian ini tidak dikenai bea meterai. Contohnya adalah surat titipan barang, ceel gudang, dan manifes penumpang.</li> </ol> <p>Ijazah (huruf b) bisa berupa surat tanda tamat belajar, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, pelatihan, kursus, penataran, dan yang sejenisnya.</p> <p>Dokumen yang menyebutkan simpanan uang (huruf g) mencakup dokumen yang berisi pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam simpanan nasabah di rekening di bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang atau berisi pemberitahuan saldo atas simpanan tersebut.</p> <p>Dokumen yang menyebutkan simpanan surat berharga mencakup pula dokumen yang berisi pembukuan, penyimpanan, kepemilikan, atau pemberitahuan saldo surat berharga nasabah di kustodian.</p> <p>Contoh dokumen simpanan uang di bank antara lain berupa tabungan dan giro. Contoh dokumen simpanan surat berharga di kustodian antara lain statement of account.</p> <p>Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter (huruf j) antara lain dokumen penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Diskonto Bank Indonesia (SDBI), repurchase agreement (Repo) dan reverse repurchase agreement surat berharga, dokumen swap termasuk swap lindung nilai, dokumen transaksi USD Repo, dokumen pembelian wesel ekspor berjangka, serta dokumen penempatan berjangka.</p> <h2>Saat terutang bea meterai</h2> <p>UU Bea Meterai pasal 8 ayat (1) mengatur bea meterai terutang pada saat:</p> <ul> <li>dokumen dibubuhi tanda tangan (huruf a)</li> <li>dokumen selesai dibuat (huruf b)</li> <li>dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen tersebut dibuat (huruf c)</li> <li>dokumen diajukan ke pengadilan, untuk dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan (huruf d)</li> <li>dokumen digunakan di Indonesia, untuk dokumen yang bersifat perdata yang dibuat di luar negeri (huruf e)</li> </ul> <p>Bea meterai terutang pada saat dokumen dibubuhi tanda tangan (huruf a), untuk:</p> <ol> <li>surat perjanjian beserta rangkapnya</li> <li>akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya, dan</li> <li>akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya.</li> </ol> <p>Tanda tangan adalah tanda sebagai lambang nama sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan atau cap nama, atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan, atau tanda tangan elektronik.</p> <p>Saat terutang bea meterai atas dokumen yang dibubuhi tanda tangan dalam ketentuan ini adalah pada saat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli, bea meterai terutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.</p> <p>Bea meterai terutang pada saat dokumen selesai dibuat (huruf b), untuk:</p> <ol> <li>surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dan</li> <li>dokumen transaksi surat berharga, termasuk dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.</li> </ol> <p>Saat terutang bea meterai atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah pada saat dokumen dibuat oleh pihak yang menerbitkan dokumen. Dokumen dalam ketentuan ini tidak melibatkan atau membutuhkan tanda tangan sehingga saat terutang atas jenis dokumen dalam ketentuan ini terjadi pada saat dokumen selesai dibuat. Penentuan selesai dibuatnya suatu dokumen biasanya diketahui dari tanggal dokumen, tetapi dapat juga diketahui dari tanda lainnya yang dapat menunjukkan saat dokumen selesai dibuat. Sebagai contoh adalah <i>trade confirmation</i> pembelian surat berharga saham di bursa efek yang berupa dokumen elektronik, bea meterai terutang pada saat <i>trade confirmation</i> dibuat secara sistem oleh perusahaan.</p> <p>Bea meterai terutang pada saat dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen tersebut dibuat (huruf c), untuk:</p> <ol> <li>surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya</li> <li>dokumen lelang, dan</li> <li>dokumen yang menyatakan jumlah uang.</li> </ol> <p>Saat terutang bea meterai atas dokumen dalam ketentuan ini adalah pada saat dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuitansi, cek, dan sebagainya. Saat terutang untuk dokumen dalam ketentuan ini terkait dengan manfaat atas dokumen yang baru terjadi saat diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen dibuat.</p> <p>Saat digunakan di Indonesia (huruf e) adalah saat dokumen dimanfaatkan atau difungsikan sebagai pelengkap atau penyerta untuk suatu urusan dalam yurisdiksi Indonesia.</p> <p>Sebagai contoh, dokumen perjanjian utang-piutang yang dibuat di luar negeri, digunakan di Indonesia pada saat dokumen tersebut dijadikan sebagai dasar untuk penagihan utang piutang, dasar untuk pencatatan atau pembukuan, atau lampiran dalam suatu laporan.</p> <p>Menteri Keuangan dapat menentukan saat lain terutangnya bea meterai. Jika dalam pelaksanaan di lapangan terdapat kesulitan mengenai penetapan saat terutangnya bea meterai, menteri dapat menetapkan saat lain selain yang ditentukan dalam UU Bea Meterai.</p> <p>Sebagai contoh, jika pembuatan dokumen berupa bukti pengalihan surat berharga tidak dapat diketahui saat selesainya, maka dapat ditetapkan saat lain untuk menentukan saat terutangnya bea meterai, misalnya saat kontrak ditandatangani atau saat dicatat dalam pembukuan.</p> <h2>Pihak yang terutang bea meterai</h2> <p>UU Bea Meterai pasal 9 mengatur:</p> <ul> <li>Dokumen yang dibuat sepihak, bea meterai terutang oleh pihak yang menerima dokumen. </li> <li>Dokumen yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, bea meterai terutang oleh masing-masing pihak atas dokumen yang diterimanya.</li> <li>Dokumen berupa surat berharga, bea meterai terutang oleh pihak yang menerbitkan surat berharga.</li> <li>Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, bea meterai terutang oleh pihak yang mengajukan dokumen.</li> <li>Dokumen yang dibuat di luar negeri dan digunakan di Indonesia, bea meterai terutang oleh pihak yang menerima manfaat atas dokumen.</li> </ul> <p>Ketentuan di atas tidak menghalangi pihak atau para pihak untuk bersepakat atau menentukan mengenai pihak yang membayar bea meterai.</p> <h2>Pemungut bea meterai</h2> <p>UU Bea Meterai pasal 10 ayat (1) mengatur pemungutan bea meterai yang terutang atas dokumen yang bersifat perdata dapat dilakukan oleh pemungut bea meterai.</p> <p>UU Bea Meterai pasal 11 mengatur pemungut bea meterai wajib:</p> <ul> <li>memungut bea meterai yang terutang atas dokumen tertentu dari pihak yang terutang</li> <li>menyetorkan bea meterai ke kas negara, dan</li> <li>melaporkan pemungutan dan penyetoran bea meterai ke kantor Direktorat Jenderal Pajak.</li> </ul> <h2>Pembayaran bea meterai yang terutang</h2> <p>UU Bea Meterai pasal 12 mengatur pembayaran bea meterai yang terutang pada dokumen dilakukan dengan menggunakan meterai atau surat setoran pajak (SSP).</p> <p>Meterai bisa berupa meterai tempel, meterai elektronik, atau meterai dalam bentuk lain.</p> <p>Pembayaran bea meterai dapat dilakukan dengan menggunakan SSP jika mekanisme pembayaran bea meterai dengan menggunakan meterai dianggap tidak efisien atau bahkan tidak dimungkinkan. Contohnya adalah dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan dalam jumlah besar yang pembayarannya melalui pemeteraian kemudian. Pemberian alternatif dalam pembayaran bea meterai ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pembayaran bea meterai.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-13349877116661146882023-08-09T00:28:00.004+07:002023-09-08T13:40:47.549+07:00Belajar pajak berbasis SPT 2023<p>Belajar pajak bukan hanya mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Pajak yang berlaku di suatu negara adalah suatu sistem, sistem perpajakan. Memahami sistem berarti Anda harus melihatnya sebagai bagian-bagian yang saling berhubungan, siapa saja pihak yang terlibat, serta tujuan akhir yang ingin dicapai.</p> <p>Ketentuan pajak juga merupakan norma hukum yang harus dipatuhi dan memiliki konsekuensi berupa sanksi, bahkan hingga hukuman pidana, bagi yang melanggarnya.</p> <p>Materi yang WSD berikan di sini dimaksudkan untuk berpihak kepada Anda sebagai Wajib Pajak. Cakupan materi dilengkapi secara inkremental dan dimutakhirkan setiap saat. Anda akan mendapati satu entry baru setiap hari. Semoga bermanfaat.</p> <h4>Ketentuan umum dan tata cara perpajakan</h4> <ul> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/npwp.html">NPWP: nomor pokok wajib pajak</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/06/nik-npwp.html">NPWP orang pribadi</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/pkp.html">PKP: pengusaha kena pajak</a></li> </ul> <h4>Pajak penghasilan orang pribadi</h4> <ul> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/05/pajak-penghasilan-pph-pasal-21.html">Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/06/pph-pasal-21-upah-bulanan.html">Contoh penghitungan PPh pasal 21</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/06/pph-orang-pribadi-pelaku-ukm.html">PPh orang pribadi pelaku UMKM</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/06/pph-orang-pribadi.html">Cara menghitung kewajiban pajak orang pribadi</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/06/status-kewajiban-perpajakan-suami-isteri.html">Status kewajiban perpajakan suami-isteri: KK, HB, PH, MT</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/06/spt-pajak-orang-pribadi.html">SPT tahunan orang pribadi 1770SS</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/06/spt-tahunan-orang-pribadi-1770s.html">SPT tahunan pribadi 1770S</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/06/spt-tahunan-orang-pribadi-1770.html">SPT tahunan pribadi 1770 (lengkap)</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/pembukuan-pencatatan-norma%20penghitungan.html">Kewajiban pembukuan dan pencatatan dalam ketentuan pajak</a></li> </ul> <h4>Pajak penghasilan badan</h4> <ul> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/penilaian-aset-pph-pasal-10.html">Penilaian aset dalam ketentuan pajak: UU PPh pasal 10</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/penyusutan-fiskal.html">Penyusutan fiskal harta berwujud</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/amortisasi-fiskal.html">Amortisasi fiskal harta tak berwujud</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/penghasilan-neto-fiskal.html">Penghasilan neto fiskal wajib pajak badan (rekonsiliasi/koreksi fiskal)</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/tarif-pph-badan.html">Tarif pajak PPh badan 2023</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/06/pph-pasal-24.html">Kredit pajak luar negeri (PPh pasal 24)</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/06/pph-pasal-25.html">PPh pasal 25: angsuran pajak penghasilan</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/pajak-dividen.html">Dividen bisa bebas pajak, syaratnya dan caranya…</a></li> </ul> <h4>Pemotongan dan pemungutan PPh</h4> <ul> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/05/pajak-penghasilan-pph-pasal-21.html">Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/06/pph-pasal-21-upah-bulanan.html">Contoh penghitungan PPh pasal 21</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/pph-penggantian-imbalan-natura-kenikmatan.html">Imbalan natura/kenikmatan kini jadi objek pajak</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/pph-kenikmatan-mobil-dinas-pegawai.html">PPh atas mobil dinas pegawai</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/penilaian-pemotongan-pph-natura-kenikmatan.html">Penilaian dan pemotongan PPh atas natura atau kenikmatan</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/pph-pasal-22.html">PPh pasal 22: pajak penghasilan rasa PPN</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/pph-pasal-22-kertas.html">PPh pasal 22 dalam jual-beli kertas</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/pph-pasal-23.html">PPh pasal 23: potongan pajak atas “sisa” penghasilan yang belum dipotong</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/pph-pasal-22-emas-perhiasan.html">Perlakuan PPh atas emas perhiasan</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/e-bupot-unifikasi.html">Kode objek PPh unifikasi</a></li> </ul> <h4>PPN dan PPnBM</h4> <ul> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/cara-menghitung-ppn.html">Cara menghitung PPN</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">Objek PPN adalah transaksi terkait barang dan jasa</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/ppnbm.html">PPnBM adalah pajak penjualan di tingkat produsen dan importir</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/saat-terutang-ppn-ppnbm.html">Saat terutang PPN dan PPnBM</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/ppn-tempat-pajak-terutang.html">PPN: tempat terutang pajak</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/dpp-ppn.html">Dasar pengenaan pajak (DPP) PPN</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/tarif-ppn-ppnbm-cara-menghitung.html">Tarif PPN dan PPnBM serta contoh penghitungan</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/kredit-pajak-ppn.html">PPN: pajak masukan, pajak keluaran, kredit pajak</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/faktur-pajak.html">Faktur pajak (PPN & PPnBM)</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/spt-masa-ppn.html">PPN: pembayaran dan penyampaian SPT masa</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/blog-post.html">Perlakuan PPN atas emas perhiasan</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/fasilitas-ppn.html">PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut, apa maksudnya?</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/ppn-final.html">PPN dengan besaran tertentu (pasal 9A)</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/pemungut-ppn.html">Pemungut PPN selain PKP</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/ppn-kms.html">PPN atas kegiatan membangun sendiri</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/ppn-barang-bawaan-luar-negeri.html">PPN barang bawaan pemegang paspor dapat diminta kembali</a></li> </ul> <h4>Topik tambahan</h4> <ul> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/bea-meterai.html">Bea meterai: pajak atas dokumen</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/pajak-karbon.html">Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon</a></li> </ul> <h4>Pajak dan retribusi daerah</h4> <ul> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/pajak-retribusi-daerah.html">Pajak dan retribusi daerah</a></li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/pbb-p2.html">PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)</a></li> </ul>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-49732738866023420002023-08-08T08:00:00.008+07:002023-08-08T08:00:00.130+07:00PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)<p><b>PBB-P2</b> adalah pajak atas bumi dan bangunan, yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan. PBB-P2 adalah salah satu jenis pajak daerah yang dipungut berdasarkan penetapan bupati atau wali kota (<i>official assessment</i>). Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan PBB-P2 adalah surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT).</p> <p>UU HKPD pasal 1 mendefinisikan <b>bumi</b> adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi.</p> <p>Definisi di atas berbeda dengan yang digunakan dalam UU PBB yang kini hanya berlaku untuk PBB yang dipungut oleh pemerintah pusat (non-P2).</p> <h2>Objek PBB-P2</h2> <p>Objek PBB-P2 adalah bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Bumi yang menjadi objek PBB juga mencakup permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.</p> <p>Dikecualikan dari objek PBB-P2 adalah kepemilikan, penguasaan, atau pemanfaatan atas:</p> <ul> <li>bumi atau bangunan kantor pemerintah, kantor pemerintahan daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah</li> <li>bumi atau bangunan yang digunakan sematamata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan</li> <li>bumi atau bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis</li> <li>bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak</li> <li>bumi atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik</li> <li>bumi atau bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri</li> <li>bumi atau bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis</li> <li>bumi atau bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh kepala daerah</li> <li>bumi atau bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.</li> </ul> <h2>Subjek dan wajib pajak PBB-P2</h2> <p><b>Subjek pajak dan wajib pajak PBB-P2</b> adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, atau memperoleh manfaat atas bumi, atau memiliki, menguasai, atau memperoleh manfaat atas bangunan.</p> <h2>Dasar pengenaan PBB-P2</h2> <p>Dasar pengenaan PBB-P2 adalah nilai jual objek pajak (NJOP). NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan jika tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.</p> <p>NJOP ditentukan berdasarkan proses penilaian PBB-P2 dan ditetapkan oleh kepala daerah (bupati atau walikota). NJOP yang menjadi dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan setiap tiga tahun. Meskipun demikian, NJOP tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.</p> <p>PBB-P2 juga memperhitungkan NJOP tidak kena pajak (NJOPTKP). NJOPTKP ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10.000.000 untuk setiap wajib pajak.</p> <p>Jika wajib pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten atau kota, NJOPTKP hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap tahun pajak.</p> <p>NJOP yang digunakan untuk pengitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% dan paling tinggi 100% dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP. Dengan kata lain, NJOP dikurangi terlebih dahulu dengan NJOPTKP, lalu dikalikan dengan persentase tersebut, untuk menentukan dasar penghitungan PBB-P2. Nilai yang benar-benar menjadi dasar penghitungan PBB disebut NJKP.</p> <h2>Tarif PBB-P2</h2> <p>Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5%. Tarif PBB-P2 atas objek pajak berupa lahan produksi pangan dan ternak harus ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya.</p> <p>Tarif PBB-P2 yang berlaku di tiap-tiap kabupaten atau kota ditetapkan dengan peraturan daerah (perda).</p> <h2>Cara menghitung PBB</h2> <p>Langkah-langkah penghitungan PBB</p> <ol> <li>Tetapkan NJOP sebagai dasar pengenaan</li> <li>Tetapkan NJOPTKP</li> <li>Hitung NJOP yang benar benar menjadi dasar penghitungan, yaitu NJOP – NJOPTKP, dikalikan dengan persentase tertentu (20% sampai dengan 100%).</li> <li>PBB-P2 yang terutang adalah hasil perkalian tarif PBB-P2 dengan dasar penghitungan</li> </ol> <p>PBB-P2 adalah official assessment. Langkah-langkah di atas dilakukan oleh pemerintah kabupaten atau kota, bukan oleh wajib pajak.</p> <h2>Saat dan tempat terutang PBB-P2</h2> <p>PBB-P2 ditagih setiap tahun pajak. Tahun pajak PBB-P2 adalah jangka waktu satu tahun kalender. Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.</p> <p>Tempat PBB-P2 terutang adalah di wilayah kabupaten atau kota yang meliputi letak objek PBB-P2.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-63875705991405903802023-08-07T08:00:00.005+07:002023-08-07T08:00:00.127+07:00Pajak dan retribusi daerah<p>Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) berlaku terhitung sejak tanggal 5 Januari 2022. UU HKPD mencabut seluruhnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). UU HKPD kini menjadi payung hukum bagi pemungutan pajak dan retribusi daerah.</p> <h2>Pajak Daerah</h2> <p>UU HKPD pasal 1 angka 21 mendefinisikan <b>pajak daerah</b> adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung, dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.</p> <p>Siapa pembayar pajak daerah? <b>Subjek </b><b>pajak </b><b>daerah</b> adalah orang pribadi atau badan yang bisa dikenai pajak daerah.</p> <p><b>Wajib pajak daerah</b> adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang sudah benar-benar mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.</p> <p>Pajak daerah bisa dipungut berdasarkan:</p> <ul> <li>penetapan kepala daerah (official assessment)</li> <li>perhitungan sendiri oleh wajib pajak (self assessment)</li> </ul> <p>Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan pajak dengan penetapan kepala daerah adalah surat ketetapan pajak daerah (SKP daerah) dan surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT).</p> <p>Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan pajak dengan perhitungan sendiri oleh wajib pajak adalah surat pemberitahuan pajak daerah (SPT pajak daerah). SPT pajak daerah wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh wajib pajak kepada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.</p> <h3>Pajak provinsi</h3> <p>UU HKPD pasal 4 ayat (1) mengatur pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri atas:</p> <ul> <li>Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)</li> <li>Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)</li> <li>Pajak Alat Berat (PAB)</li> <li>Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)</li> <li>Pajak Air Permukaan (PAP)</li> <li>Pajak Rokok</li> <li>Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Opsen Pajak MBLB)</li> </ul> <p>Pajak-pajak di atas juga dipungut oleh daerah yang setingkat dengan daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom.</p> <h3>Pajak kabupaten/kota</h3> <p>Pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota terdiri atas:</p> <ul> <li>Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)</li> <li>Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)</li> <li>Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT)</li> <li>Pajak Reklame</li> <li>Pajak Air Tanah (PAT)</li> <li>Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Pajak MBLB)</li> <li>Pajak Sarang Burung Walet</li> <li>Opsen Pajak Kendaraan Bermotor (Opsen PKB)</li> <li>Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (Opsen BBNKB)</li> </ul> <p>Pajak-pajak di atas juga dipungut oleh daerah yang setingkat dengan daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom.</p> <h2>Retribusi Daerah</h2> <p>UU HKPD pasal 1 angka 22 mendefinisikan <b>retribusi daerah</b>, yang selanjutnya disebut <b>retribusi</b> saja, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.</p> <p><b>Subjek retribusi</b> adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, atau perizinan.</p> <p><b>Wajib retribusi</b> adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu. Wajib retribusi meliputi orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, atau perizinan.</p> <p>Jenis retribusi terdiri atas:</p> <ul> <li>Retribusi jasa umum</li> <li>Retribusi jasa usaha</li> <li>Retribusi perizinan tertentu</li> </ul> <p>Retribusi bisa dipungut oleh pemerintah provinsi ataupun kabupaten/kota.</p> <p><b>Objek retribusi</b> adalah penyediaan/pelayanan barang atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau badan oleh pemerintah daerah.</p> <ul> <li><b>Jasa umum</b> adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.</li> <li><b>Jasa usaha</b> adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.</li> <li><b>Perizinan tertentu</b> adalah kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.</li> </ul> <h3>Retribusi jasa umum</h3> <p>Jenis pelayanan yang merupakan objek retribusi jasa umum meliputi:</p> <ul> <li>pelayanan kesehatan</li> <li>pelayanan kebersihan</li> <li>pelayanan parkir di tepi jalan umum</li> <li>pelayanan pasar</li> <li>pengendalian lalu lintas</li> </ul> <p>Jenis pelayanan di atas dapat tidak dipungut retribusi apabila potensi penerimaannya kecil atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.</p> <h3>Retribusi jasa usaha</h3> <p>Jenis penyediaan/pelayanan barang atau jasa yang merupakan objek retribusi jasa usaha meliputi:</p> <ul> <li>penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya</li> <li>penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan</li> <li>penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan</li> <li>penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila</li> <li>pelayanan rumah pemotongan hewan ternak</li> <li>pelayanan jasa kepelabuhanan</li> <li>pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga</li> <li>pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air</li> <li>penjualan hasil produksi usaha pemerintah daerah</li> <li>pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan</li> </ul> <h3>Retribusi perizinan tertentu</h3> <p>Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek retribusi perizinan tertentu meliputi:</p> <ul> <li>persetujuan bangunan gedung</li> <li>penggunaan tenaga kerja asing</li> <li>pengelolaan pertambangan rakyat</li> </ul>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-30765182880118291212023-08-06T08:00:00.009+07:002023-08-06T08:00:00.131+07:00PPN barang bawaan pemegang paspor dapat diminta kembali<p style="text-align: left;">UU PPN pasal 16E memperbolehkan orang pribadi pemegang paspor luar negeri untuk meminta kembali <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/cara-menghitung-ppn.html">PPN</a> dan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/ppnbm.html">PPnBM</a> yang sudah dibayar atas pembelian <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">BKP</a> yang dibawa ke luar daerah pabean.</p> <p>PPN dan PPnBM yang dapat diminta kembali harus memenuhi syarat-syarat berikut:</p> <ul> <li>Nilai PPN paling sedikit sebesar Rp500.000</li> <li>Pembelian BKP dilakukan dalam jangka waktu satu bulan sebelum keberangkatan ke luar daerah pabean, dan</li> <li><a href="https://www.warsidi.com/2023/08/faktur-pajak.html">Faktur fajak</a> memenuhi ketentuan UU PPN pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom NPWP dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai NPWP</li> </ul> <p>Permintaan kembali PPN dan PPnBM dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.</p> <p>Orang pribadi pemegang paspor luar negeri harus menunjukkan dokumen berikut pada saat meminta kembali PPN/PPnBM:</p> <ul> <li>paspor</li> <li>pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan ke luar daerah pabean, dan</li> <li>faktur pajak</li> </ul> <p>Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali PPN yang sudah dibayar atas pembelian BKP yang dibawa ke luar daerah pabean diatur dalam <a href="https://drive.google.com/file/d/1JDjDqxFk6R9OJ7Trhv_3SpN3X15XfbGM/view?usp=sharing">PMK-120/PMK.03/2019</a>.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-17953623067448349552023-08-05T08:00:00.007+07:002023-08-05T08:00:00.130+07:00PPN atas kegiatan membangun sendiri<p>UU PPN pasal 16C mengatur <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">Pajak Pertambahan Nilai (PPN)</a> dikenakan atas kegiatan membangun sendiri (KMS) yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.</p> <p>Ketentuan di atas dibuat, konon dengan pertimbangan, untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan PPN. Untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari pengenaan PPN atas KMS, Menteri Keuangan harus mengatur batasan kegiatan membangun sendiri.</p> <p>PMK-61/PMK.03/2022 adalah peraturan pelaksanaan dari ketentuan UU PPN pasal 16C.</p> <p>PPN atas KMS berlaku baik bagi orang pribadi ataupun badan. Dengan kata lain, siapa pun subjek pajak dalam negeri yang melakukan kegiatan membangun sendiri bisa dikenai PPN.</p> <h2>Apakah batasan atau definisi kegiatan membangun sendiri (KMS)?</h2> <p>PMK-61/PMK.03/2022 pasal 2 ayat (3) mendefinisikan KMS yang mencakup kegiatan membangun bangunan, baik bangunan baru maupun perluasan bangunan lama. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah atau perairan atau keduanya, dengan kriteria ayat (4):</p> <ul> <li>konstruksi utama bisa terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan baja</li> <li>bisa diperuntukkan sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha</li> <li>luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200m<sup>2</sup></li> </ul> <p>Ketiga kriteria di atas harus dipenuhi seluruhnya agar KMS bisa dikenai PPN.</p> <p>KMS yang dikenai PPN bisa dilakukan sekaligus, atau bertahap tetapi tenggang waktu antara tahapan KMS tidak lebih dari dua tahun. Jika tenggang waktu antara tahapan KMS lebih dari dua tahun, kegiatan tersebut diperlakukan sebagai KMS yang terpisah sepanjang memenuhi ketentuan ayat (4).</p> <h3>Contoh KMS sekaligus</h3> <p>Rafael membangun sendiri sebuah rumah tinggal. Pembangunan tersebut dilakukan secara sekaligus, dimulai pada bulan Juni 2023 dengan luas 50m<sup>2</sup>. Kriteria luas bangunan tidak terpenuhi sehingga pembangunan rumah tinggal Rafael tidak dikenai PPN.</p> <p>Contoh lain, Mario membangun sendiri sebuah rumah tinggal. Pembangunan tersebut dilakukan secara sekaligus dimulai pada bulan Juni 2023 dengan luas 200m<sup>2</sup>. Ketiga kriteria terpenuhi sehingga pembangunan rumah tinggal Mario dikenai Paj Pertambahan Nilai.</p> <h3>Contoh KMS bertahap</h3> <p>Sri membangun sendiri gudang dengan luas 120m<sup>2</sup> untuk menunjang kegiatan usahanya. Pembangunan gudang tersebut dilakukan secara bertahap dengan rincian luas bangunan yang dibangun sebagai berikut:</p> <ol> <li>bulan Juni 2023 seluas 50m<sup>2</sup></li> <li>bulan Januari 2023, enam bulan setelah tahapan pertama, dilanjutkan pembangunan seluas 70m<sup>2</sup></li> </ol> <p>Dua tahapan membangun di atas merupakan satu kesatuan KMS, karena tenggang waktu antara tahapan tersebut tidak melebihi dua tahun. Meskipun demikian, kriteria luas bangunan tidak melebihi batasan 200m<sup>2</sup> sehingga KMS tersebut tidak dikenai PPN.</p> <p>Contoh lainnya, Tri Sambodo membangun sendiri gudang dengan luas 300m<sup>2</sup> untuk menunjang kegiatan usaha. Pembangunan gudang tersebut dilakukan secara bertahap dengan rincian luas bangunan yang dibangun sebagai berikut:</p> <ol> <li>bulan Juni 2023 seluas 100m<sup>2</sup></li> <li>bulan Januari 2023, enam bulan setelah tahapan pertama, dilanjutkan pembangunan seluas 200m<sup>2</sup></li> </ol> <p>Tahapan membangun di atas merupakan satu kegiatan karena tenggang waktu antara tahapan tersebut tidak melebihi dua tahun. Selain itu, jumlah luas bangunan yang dibangun pada satu kesatuan kegiatan tersebut telah melebihi batasan 200m<sup>2</sup>. Oleh karena itu, KMS oleh Tri Sambodo dikenai PPN.</p> <p>Contoh lainnya, Mulyani membangun sendiri ruko dengan luas 250m<sup>2</sup>. Pembangunan ruko tersebut dilakukan secara bertahap dengan rincian luas bangunan yang dibangun sebagai berikut:</p> <ol> <li>bulan Juni 2022 seluas 100m<sup>2</sup></li> <li>bulan Januari 2025, 2,5 tahun setelah tahapan pertama, dilanjutkan pembangunan seluas 150m<sup>2</sup></li> </ol> <p>Tahapan membangun di atas bukan merupakan satu kesatuan kegiatan. Oleh karena itu:</p> <ol> <li>kegiatan membangun pada bulan Juni 2022 dikenai PPN mengingat luas ruko yang akan dibangun melebihi batasan 200m<sup>2</sup> dan saat terutang atas kegiatan membangun sendiri terjadi pada saat dimulainya kegiatan membangun bangunan</li> <li>kegiatan membangun pada bulan Januari 2025 merupakan kegiatan membangun yang terpisah dengan luas tidak melebihi batasan 200m<sup>2</sup> sehingga tidak dikenai PPN.</li> </ol> <h3>Pihak lain tidak memungut PPN</h3> <p>KMS juga mencakup kegiatan membangun bangunan oleh pihak lain bagi orang pribadi atau badan, tetapi PPN atas kegiatan tersebut tidak dipungut oleh pihak lain yang seharusnya memungut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Orang pribadi atau badan bisa dikecualikan dari tanggung jawab untuk membayar PPN atas KMS sepanjang dapat memberikan data dan informasi mengenai pihak lain yang sebenarnya melakukan kegiatan membangun, yang paling sedikit meliputi identitas dan alamat lengkap pihak lain tersebut.</p> <h2>PPN dengan besaran tertentu atas KMS</h2> <p>PMK-61/PMK.03/2022 pasal 3 ayat (1) mengatur PPN atas KMS dihitung, dipungut, dan disetor oleh orang pribadi atau badan yang melakukan KMS dengan besaran tertentu, yaitu 20% dari <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/tarif-ppn-ppnbm-cara-menghitung.html">tarif umum PPN</a> dikalikan dengan dasar penghitungan dan pengenaan (DPP) PPN. Sebagai contoh, jika tarif PPN yang berlaku adalah 11%, tarif efektif yang dikalikan dengan DPP PPN adalah 2,2%. Jika tarif PPN yang berlaku adalah 12%, tarif efektif yang dikalikan dengan DPP PPN adalah 2,4%.</p> <p>Apakah DPP PPN atas KMS? DPP PPN atas KMS adalah <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/dpp-ppn.html">nilai tertentu</a>, bisa mencakup jumlah biaya yang dikeluarkan dan yang dibayarkan untuk membangun bangunan untuk setiap masa pajak sampai dengan bangunan selesai. DPP PPN atas KMS tidak mencakup biaya perolehan tanah. Perhatikan, penghitungan PPN atas KMS dilakukan setiap masa pajak.</p> <h2>Saat dan tempat terutang dan penyetoran PPN atas KMS</h2> <p>PPN atas KMS terutang pada saat bangunan mulai dibangun sampai dengan bangunan selesai, di tempat bangunan didirikan.</p> <p>PPN atas KMS harus disetor ke kas negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.</p> <p>Jika tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja KPP Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan KMS terdaftar, kolom NPWP pada SSP diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut.</p> <p>Jika tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja KPP Pratama yang berbeda dengan KPP tempat orang pribadi atau badan yang melakukan KMS terdaftar, SSP diisi dengan ketentuan sebagai berikut</p> <p>Kolom NPWP diisi dengan:</p> <ol> <li>angka 0 pada 9 digit pertama</li> <li>angka kode KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 digit berikutnya</li> <li>angka 0 pada 3 digit terakhir</li> </ol> <p>Kolom nama wajib pajak diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri, dan kolom alamat wajib pajak diisi alamat tempat bangunan didirikan.</p> <p>Jika orang pribadi yang melakukan KMS belum memiliki NPWP, SSP diisi dengan ketentuan sebagai berikut:</p> <p>Kolom NPWP diisi dengan:</p> <ol> <li>angka 0 pada 9 digit pertama</li> <li>angka kode KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan pada 3 digit berikutnya</li> <li>angka 0 pada 3 digit terakhir</li> </ol> <p>Kolom nama wajib pajak diisi nama orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri, dan kolom alamat wajib pajak diisi alamat tempat bangunan didirikan.</p> <p>Kewajiban untuk menyetorkan PPN dikecualikan bagi orang pribadi atau badan yang melakukan KMS jika jumlah PPN dalam masa pajak bersangkutan nihil.</p> <p>SSP yang digunakan untuk menyetor PPN atas KMS merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan <a href="https://www.warsidi.com/2023/08/faktur-pajak.html">faktur pajak</a>. PPN yang tercantum dalam SSP merupakan pajak masukan (PM) yang <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/kredit-pajak-ppn.html">dapat dikreditkan</a> sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan PM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.</p> <p>PM yang dibayar atas perolehan BKP/JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud/pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, sehubungan dengan KMS tidak dapat dikreditkan.</p> <h2>Pelaporan PPN atas KMS</h2> <p>Orang pribadi atau badan yang melakukan KMS wajib melaporkan penyetoran PPN dengan ketentuan sebagai berikut:</p> <ul> <li>orang pribadi atau badan yang merupakan PKP melaporkan penyetoran PPN dalam <a href="https://www.warsidi.com/2023/08/spt-masa-ppn.html">SPT masa PPN</a></li> <li>orang pribadi atau badan yang bukan PKP dianggap telah melaporkan sepanjang telah melakukan penyetoran PPN.</li> </ul> <p>Kewajiban melaporkan penyetoran PPN dikecualikan bagi orang pribadi atau badan yang melakukan KMS jika dalam masa pajak tidak terdapat penyetoran PPN.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-83692060839241111562023-08-04T08:00:00.006+07:002023-08-04T08:00:00.127+07:00Pemungut PPN selain PKP<p>UU PPN pasal 1 angka 27 mendefinisikan Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mencakup bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (<a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">BKP/JKP</a>) kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.</p> <p>UU PPN pasal 16A ayat (1) mengatur pajak yang terutang atas <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/pph-pasal-22-kertas.html">penyerahan BKP/JKP kepada Pemungut PPN</a> dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut PPN.</p> <p>Dengan kata lain, PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah (Pemungut PPN), tetap membuat <a href="https://www.warsidi.com/2023/08/faktur-pajak.html">faktur pajak</a>. Akan tetapi, <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/cara-menghitung-ppn.html">PPN yang terutang</a> atas penyerahan tersebut dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut PPN.</p> <p>Meskipun demikian, PKP yang melakukan penyerahan juga tetap berkewajiban untuk <a href="https://www.warsidi.com/2023/08/spt-masa-ppn.html">melaporkan pajak</a> yang dipungut oleh Pemungut PPN.</p> <p>UU PPN pasal 9 ayat (4b) huruf b memperbolehkan PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP kepada Pemungut PPN untuk mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak masukan (PM) pada setiap masa pajak. Aturan ini merupakan pengecualian dari ketentuan di ayat sebelumnya terkait <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/kredit-pajak-ppn.html">perlakuan atas kelebihan PM setelah dikreditkan atas pajak keluaran (PK)</a>.</p> <p>UU PPN pasal 16A ayat (2) mengharuskan Menteri Keuangan untuk menetapkan tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut PPN.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-59088537558517200852023-08-03T08:00:00.004+07:002023-08-03T08:00:00.134+07:00PPN: pembayaran dan penyampaian SPT masa<p>UU PPN pasal 15A ayat (1) mengatur penyetoran <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/cara-menghitung-ppn.html">Pajak Pertambahan Nilai (PPN)</a> oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN disampaikan.</p> <p>Pada setiap akhir masa pajak, pajak masukan (PM) <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/kredit-pajak-ppn.html">dikreditkan</a> atas pajak keluaran (PK). Jika PK lebih besar daripada PM, selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP. Baik PM maupun PK ditentukan berdasarkan <a href="https://www.warsidi.com/2023/08/faktur-pajak.html">faktur pajak</a> atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak.</p> <p>PK adalah faktur pajak yang diberikan pada lawan transaksi pada <a href="https://www.warsidi.com/2023/08/saat-terutang-ppn-ppnbm.html">saat penyerahan</a> barang kena pajak atau jasa kena pajak (BKP/JKP). PM adalah faktur pajak yang diterima pada saat pembelian atau pemanfaatan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">BKP/JKP</a>.</p> <p>Faktur pajak dan SPT Masa PPN disiapkan menggunakan aplikasi e-Faktur.</p> <p>UU PPN pasal 15A ayat (2) mengatur SPT Masa PPN disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.</p> <p>Dalam rangka memberikan kelonggaran waktu kepada PKP untuk menyetor kekurangan pembayaran pajak dan menyampaikan SPT Masa PPN, ketentuan di atas mengatur secara khusus mengenai batas akhir pembayaran dan penyampaian SPT Masa PPN yang berbeda dengan yang diatur dalam UU KUP.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-49090178554405367452023-08-02T08:00:00.000+07:002023-08-02T08:00:00.139+07:00Faktur pajak (PPN & PPnBM)<p>Apakah yang dimaksud dengan faktur pajak? Faktur pajak adalah bukti pungutan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/cara-menghitung-ppn.html">PPN</a>. Selain melakukan penyerahan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">barang kena pajak atau jasa kena pajak (BKP/JKP)</a> dan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/tarif-ppn-ppnbm-cara-menghitung.html">memungut PPN</a>, pengusaha kena pajak (PKP) juga memberikan faktur pajak kepada pihak yang menerima BKP/JKP.</p> <p>Faktur pajak yang diberikan menjadi pajak keluaran (PK) bagi PKP yang melakukan penyerahan dan pajak masukan (PM) bagi PKP pembeli BKP atau penerima JKP.</p> <p>Transaksi apa saja yang mengharuskan pembuatan faktur pajak? PER-03/PJ/2022 pasal 3 ayat (1) mengatur secara spesifik penyerahan BKP/JKP oleh PKP yang harus disertai dengan pembuatan faktur pajak:</p> <ul> <li>penyerahan BKP, termasuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (huruf a)</li> <li>penyerahan JKP (huruf b)</li> <li>ekspor BKP berwujud (huruf c)</li> <li>ekspor BKP tidak berwujud (huruf d)</li> <li>ekspor JKP (huruf e)</li> </ul> <p>Faktur pajak bisa berfungsi sebagai faktur penjualan (invoice) bagi PKP yang melakukan penyerahan. Faktur pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai faktur pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.</p> <h2>Saat pembuatan faktur pajak</h2> <p>PER-03/PJ/2022 pasal 3 ayat (2) mengatur faktur pajak harus dibuat pada <a href="https://www.warsidi.com/2023/08/saat-terutang-ppn-ppnbm.html">saat terutangnya PPN</a>, yaitu:</p> <ul> <li>saat penyerahan BKP/JKP (huruf a)</li> <li>saat penerimaan pembayaran, jika penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP/JKP (huruf b)</li> <li>saat penerimaan pembayaran termin, dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan (huruf c)</li> <li>saat ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, atau ekspor JKP (huruf d)</li> <li>saat lain yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN (huruf e)</li> </ul> <p>Mengacu pada ketentuan di atas, pada prinsipnya faktur pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran (jika pembayaran terjadi sebelum penyerahan).</p> <p>Meskipun demikian, saat pembuatan faktur pajak bisa saja tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam penyerahan BKP/JKP kepada instansi pemerintah. Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan faktur pajak.</p> <h2>Faktur pajak gabungan</h2> <p>Setiap satu kali penyerahan BKP/JKP harus dibuat satu faktur pajak. Meskipun demikian, jika PKP melakukan lebih dari satu kali penyerahan BKP/JKP kepada pembeli BKP atau penerima JKP yang sama selama satu bulan kalender, PKP diperbolehkan membuat satu faktur pajak yang meliputi seluruh penyerahan tersebut. Ketentuan ini dimaksudkan untuk meringankan beban administrasi PPN bagi PKP.</p> <p>Faktur pajak yang mencakup lebih dari satu penyerahan selama satu bulan disebut <b>faktur pajak gabungan</b>. Faktur pajak gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan, meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.</p> <p>Sebagai contoh, PT Akal Budi (PKP) melakukan penyerahan BKP kepada Bagus Rafael pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2023, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2023 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut. PT Akal Budi diperkenankan membuat satu faktur pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli 2023 paling lama tanggal 31 Juli 2023.</p> <p>Contoh lainnya, PT Abu Jabal melakukan penyerahan BKP kepada Bima Dandy pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2023. Pada tanggal 28 September 2023 Bima Dandy melakukan pembayaran atas penyerahan pada tanggal 2 September 2023. Jika PT Abu Jabal membuat faktur pajak gabungan, faktur pajak gabungan harus dibuat pada tanggal 30 September 2023 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September 2023.</p> <p>Contoh lainnya lagi, PT Agnes (PKP) melakukan penyerahan BKP kepada Banu pada tanggal 2, 7, 8, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2023. Pada tanggal 28 September 2023 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2023 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2023 oleh Banu. Jika PT Agnes membuat faktur pajak gabungan, faktur pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2023 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September 2023.</p> <h2>Informasi yang tercantum dalam faktur pajak</h2> <a href="https://drive.google.com/uc?id=1ZMz_1LVptZbBK3aLqm_AmMGhK10I4wmo"><img title="contoh-faktur-pajak8" style="border: 0px currentcolor; display: inline; background-image: none;" border="0" alt="contoh-faktur-pajak8" src="https://drive.google.com/uc?id=198I5rlm6j_ZpL0182dlRFGoeUQvFMzu3" width="558" height="772" /></a> <p>Faktur pajak merupakan bukti pungutan PPN dan dapat digunakan sebagai sarana untuk <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/kredit-pajak-ppn.html">mengkreditkan pajak masukan (PM)</a>. Faktur pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh PKP untuk menandatanganinya.</p> <p>Faktur pajak juga merupakan bukti pungutan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/ppnbm.html">PPnBM</a>. Meskipun demikian, keterangan mengenai PPnBM hanya diisi apabila atas penyerahan BKP memang terutang PPnBM.</p> <p>Faktur pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan UU PPN mengakibatkan PPN yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sebagai PM.</p> <p>UU PPN pasal 13 ayat (5) mengharuskan faktur pajak mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau penyerahan JKP, paling sedikit memuat:</p> <ul> <li>nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP/JKP (huruf a)</li> <li>identitas pembeli BKP atau penerima JKP (huruf b)</li> <li>jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga (huruf c)</li> <li>PPN yang dipungut (huruf d)</li> <li>PPnBM yang dipungut (huruf e)</li> <li>kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak (huruf f), dan</li> <li>nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak (huruf g)</li> </ul> <p>Identitas pembeli BKP atau penerima JKP (huruf b) meliputi:</p> <ol> <li>nama, alamat, dan NPWP, bagi wajib pajak dalam negeri badan dan instansi pemerintah</li> <li>nama, alamat, dan NPWP atau NIK, bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi</li> <li>nama, alamat, dan nomor paspor, bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi</li> <li>nama dan alamat, bagi subjek pajak luar negeri badan atau bukan subjek pajak sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU PPh</li> </ol> <h2>Faktur pajak bagi pedagang eceran</h2> <p>UU PPN pasal 13 ayat (5a) memperbolehkan PKP pedagang eceran membuat faktur pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan BKP/JKP kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir.</p> <p>Karakteristik konsumen akhir meliputi:</p> <ul> <li>pembeli barang/penerima jasa mengonsumsi secara langsung barang/jasa yang dibeli atau diterima, dan</li> <li>pembeli barang/penerima jasa tidak menggunakan atau memanfaatkan barang/jasa yang dibeli atau diterima untuk kegiatan usaha.</li> </ul> <h2>Dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak</h2> <p>UU PPN pasal 13 ayat (6) mengatur Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak. Ketentuan ini mengecualikan ketentuan UU PPN ayat (5). Dokumen tertentu yang dimaksud adalah dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha (dokumen bisnis).</p> <p>Mengapa dokumen bisnis bisa dipersamakan dengan faktur pajak?</p> <ul> <li>Faktur penjualan (invoice) yang digunakan oleh pengusaha sudah dikenal oleh masyarakat luas. Contohnya adalah kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara.</li> <li>Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat faktur pajak, yaitu pihak yang menyerahkan BKP/JKP, berada di luar daerah pabean. Sebagai contoh, dalam hal pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean, Surat Setoran Pajak (SSP) dapat ditetapkan sebagai faktur pajak.</li> <li>Dokumen tertentu yang digunakan dalam kegiatan impor atau ekspor BKP berwujud dengan sendirinya bisa dipersamakan dengan faktur pajak.</li> </ul> <h2>Faktur pajak elektronik</h2> <p>PER-03/PJ/2022 pasal 2 mengatur faktur pajak yang dibuat oleh PKP atas penyerahan BKP/JKP wajib berbentuk elektronik. Faktur pajak elektronik dibuat dengan menggunakan aplikasi e-faktur, dibahas dalam artikel terpisah.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-33251903971162227652023-08-01T08:00:00.000+07:002023-08-01T08:00:00.132+07:00 PPN: tempat terutang pajak<p>Selain <a href="https://www.warsidi.com/2023/08/saat-terutang-ppn-ppnbm.html">saat terutang</a>, hal penting lain yang juga harus diperhatikan oleh pengusaha kena pajak (PKP) adalah tempat terutang pajak, di mana <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/cara-menghitung-ppn.html">PPN</a> menjadi terutang. Tempat terutang pajak adalah tempat PKP mengadministrasikan PPN. Perhatikan, ada empat kata kunci dalam artikel ini: tempat terutang pajak, tempat tinggal, tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha.</p><h2 style="text-align: left;">Tempat pajak terutang bagi PKP</h2><p>PKP bisa orang pribadi atau badan. PKP melakukan penyerahan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">BKP/JKP</a>, ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, atau ekspor JKP.</p><p>Bagi PKP orang pribadi, tempat terutang PPN bisa di tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha. Bagi PKP badan, tempat <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/tarif-ppn-ppnbm-cara-menghitung.html">terutang PPN</a> adalah tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha. Jika tempat tinggal atau tempat kedudukan sekaligus menjadi tempat kegiatan usaha, tempat terutang pajak dengan sendirinya adalah tempat kegiatan usaha.</p><p>PKP bisa mempunyai satu atau lebih tempat kegiatan usaha di luar tempat tinggal (orang pribadi) atau tempat kedudukan (badan). Dalam situasi semacam ini, setiap tempat tersebut merupakan tempat terutangnya pajak. PKP wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di tiap-tiap tempat.</p><p>PKP bisa mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang yang semuanya berada di wilayah kerja satu Kantor Direktorat Jenderal Pajak (misalnya dalam wilayah kerja satu KPP). Dalam kasus semacam ini, PKP memilih salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang yang bertanggung jawab untuk seluruh tempat kegiatan usahanya. Meskipun demikian, PKP juga dimungkinkan memiliki lebih dari satu tempat pajak terutang. PKP wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai tempat pajak terutang mana saja yang dikehendakinya.</p><p>Dalam hal-hal tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha sebagai tempat pajak terutang.</p><p>Sebagai contoh, Agus (PKP orang pribadi) yang bertempat tinggal di Bogor mempunyai usaha di Cibinong. Apabila di tempat tinggalnya, Agus tidak melakukan penyerahan BKP atau JKP, Agus hanya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP di KPP Pratama Cibinong, karena tempat terutangnya pajak bagi Agus adalah di Cibinong.</p><p>Sebaliknya, jika penyerahan BKP atau JKP dilakukanoleh Agus hanya di tempat tinggalnya saja, Agus hanya wajib mendaftarkan diri di KPP Pratama Bogor.</p><p>Jika baik di tempat tinggal maupun di tempat kegiatan usahanya Agus melakukan penyerahan BKP atau JKP, Agus wajib mendaftarkan diri di KPP Pratama Bogor dan KPP Pratama Cibinong, karena tempat terutangnya pajak berada di Bogor dan Cibinong.</p><p>Berbeda dengan orang pribadi, PKP badan wajib mendaftarkan diri baik di tempat kedudukan maupun di tempat kegiatan usaha karena bagi PKP badan di kedua tempat tersebut dianggap melakukan penyerahan BKP atau JKP.</p><p>Sebagai contoh, PT Angin Ribut (PKP badan) mempunyai tiga tempat kegiatan usaha, yaitu di kota Bengkulu, Bintuhan, dan Manna, yang ketiganya berada di bawah pelayanan satu KPP, yaitu KPP Pratama Bengkulu. Ketiga tempat kegiatan usaha tersebut melakukan penyerahan BKP dan melakukan administrasi penjualan dan administrasi keuangan, sehingga PT Angin Ribut terutang pajak di ketiga tempat atau kota itu. Dalam keadaan demikian PT Angin Ribut wajib memilih salah satu tempat kegiatan usaha, untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP, misalnya tempat kegiatan usaha di Bengkulu. PT Angin Ribut yang bertempat kegiatan usaha di Bengkulu ini bertanggung jawab untuk melaporkan seluruh kegiatan usaha yang dilakukan oleh ketiga tempat kegiatan usaha perusahaan tersebut.</p><p>Jika PT Angin Ribut menghendaki dua tempat kegiatan usaha, di Bengkulu dan Bintuhan, ditetapkan sebagai tempat pajak terutang untuk seluruh kegiatan usahanya, PT Angin Ribut wajib memberitahukan kepada Kepala KPP Pratama Bengkulu.</p><p>Dengan kata lain, jika PKP terutang pajak pada lebih dari satu tempat kegiatan usaha PKP tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih satu tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.</p><h2 style="text-align: left;">Tempat pajak terutang atas impor</h2><p>UU PPN pasal 12 ayat (3) mengatur terutangnya PPN atau <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/ppnbm.html">PPnBM</a> atas impor terjadi di tempat BKP dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).</p><h2 style="text-align: left;">Tempat pajak terutang atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean</h2><p>UU PPN pasal 12 ayat (4) mengatur orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha.</p><p>Orang pribadi atau badan yang yang dimaksud dalam ketentuan di atas bisa berstatus PKP atau bukan PKP.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-84909268286133075922023-07-31T08:00:00.000+07:002023-07-31T08:00:00.143+07:00Saat terutang PPN dan PPnBM<p>Frase “saat terutang” pajak bisa jadi terlewat begitu saja. Anda yang sedang belajar pajak mengabaikan begitu saja. Tapi dalam praktik, dan dalam arti hukum, saat terutang pajak adalah hal yang sangat penting. Saat terutang bagi wajib pajak atau pengusaha kena pajak (PKP) berarti timbulnya hak negara untuk memperoleh penerimaan pajak.</p><p>Dalam konteks <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">PPN</a> dan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/ppnbm.html">PPnBM</a>, konsep “saat terutang” mengindikasikan kapan faktur pajak seharusnya dibuat. Serupa dengan bukti pemotongan atau bukti pemungutan PPh, faktur pajak adalah bukti pemungutan PPN dan PPnBM oleh PKP. Bagi PKP yang menerbitkan, faktur pajak merupakan faktur pajak keluaran dan bagi PKP yang menerima, faktur pajak merupakan faktur pajak masukan.</p><h2 style="text-align: left;">Kapan saat terutang PPN dan PPnBM?</h2><p>UU PPN pasal 11 ayat (1) mengatur terutangnya pajak terjadi pada saat:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>penyerahan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">barang kena pajak (BKP)</a> (huruf a)</li><li>impor BKP (huruf b)</li><li>penyerahan jasa kena pajak (JKP) (huruf c)</li><li>pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean (huruf d)</li><li>pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean (huruf e)</li><li>ekspor BKP berwujud (huruf f)</li><li>ekspor BKP tidak berwujud (huruf g)</li><li>ekspor JKP (huruf h)</li></ul><p></p><p><a href="https://www.warsidi.com/2023/07/dpp-ppn.html">Pemungutan PPN</a> dan PPnBM menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan BKP atau JKP meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor BKP. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui e-commerce tunduk pada ketentuan ini.</p><p>Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean (huruf d) atau memanfaatkan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean (huruf e), terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan BKP tidak berwujud atau JKP tersebut.</p><p>Pihak yang menyerahkan BKP tidak berwujud atau JKP berada di luar daerah pabean, sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai PKP. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.</p><p>UU PPN pasal 11 ayat (2) mengatur jika pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP/JKP, atau jika pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.</p><p>Dengan kata lain, pemungutan PPN dan PPnBM menganut dasar kas jika pembayaran mendahului penyerahan atau pemanfaatan. Pajak menganut prinsip mana yang lebih cepat, pembayaran (dasar kas) atau penyerahan/pemanfaatan (dasar akrual).</p><p>UU PPN pasal 11 ayat (4) mengatur Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-65523593733368864742023-07-30T08:00:00.000+07:002023-07-30T08:00:00.135+07:00Tarif PPN dan PPnBM serta contoh penghitungan<p>UU <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/cara-menghitung-ppn.html">PPN</a> pasal 7 ayat (1) mengatur tarif PPN adalah:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>sebesar 11% yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022</li><li>sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025</li></ul><p></p><p>Tarif PPN di atas dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Perubahan tarif PPN diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan RAPBN.</p><p>UU PPN pasal 7 ayat (2) mengatur tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>ekspor BKP berwujud</li><li>ekspor BKP tidak berwujud</li><li>ekspor JKP</li></ul><p></p><p>PPN dikenakan atas konsumsi BKP dan JKP di dalam daerah pabean. Ekspor BKP dan JKP untuk konsumsi di luar daerah pabean dikenai PPN dengan tarif 0%. Pengenaan tarif 0% tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan BKP dan JKP yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.</p><h2 style="text-align: left;">Tarif PPnBM</h2><p>UU PPN pasal 8 ayat (1) mengatur tarif <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/ppnbm.html">PPnBM</a> dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif paling rendah 10% dan paling tinggi 200%. Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan BKP yang tergolong mewah. Ketentuan mengenai kelompok BKP yang tergolong mewah diatur dengan Peraturan Pemerintah.</p><p>Pengelompokan barang-barang yang dikenai PPnBM terutama didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang tersebut dan juga nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya.</p><p>Tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Jika barang yang dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenai PPnBM, tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah.</p><p>Pengelompokan barang yang dikenai PPnBM dilakukan setelah berkonsultasi dengan alat kelengkapan DPR yang membidangi keuangan.</p><p>Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai PPnBM diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.</p><p>UU PPN pasal 8 ayat (2) mengatur ekspor BKP yang tergolong mewah dikenai PPnBM dengan tarif 0%.</p><p>PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi BKP yang tergolong mewah di dalam daerah pabean. Oleh karena itu, BKP yang tergolong mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar daerah pabean dikenai PPnBM dengan tarif 0%.</p><p>PPnBM yang telah dibayar atas perolehan BKP yang tergolong mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.</p><h2 style="text-align: left;">Contoh penghitungan PPN dan PPnBM</h2><p>Di artikel sebelumnya, WSD mengulas cara sederhana menghitung PPN. Bagaimana jika PKP adalah importir atau produsen <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">BKP</a> yang tergolong mewah. Dengan mengacu pada ketentuan di atas, PKP harus memungut PPN dan juga PPnBM.</p><p>Contoh penghitungan PPN dan PPnBM</p><p>Di artikel sebelumnya, WSD mengulas cara sederhana menghitung PPN. Bagaimana jika PKP adalah importir atau produsen BKP yang tergolong mewah. Dengan mengacu pada ketentuan di atas, PKP harus memungut PPN dan juga PPnBM.</p><h3 style="text-align: left;">Contoh 1</h3><p>Pada tanggal 1 Agustus 2023 PT ABS (PKP) mengimpor BKP yang tergolong mewah dengan nilai impor Rp500.000.000. BKP tersebut, selain dikenakan PPN dengan tarif 11%, juga dikenakan PPnBM dengan tarif 20%.</p><p>Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor BKP yang tergolong mewah tersebut adalah sebagai berikut:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>PPN = Rp55.000.000 (= 11% × Rp500.000.000)</li><li>PPnBM = Rp100.000.000 (=)</li></ul><p></p><p>Berbeda dengan PPN yang dipungut pada setiap tingkat penyerahan, PPnBM hanya dipungut pada tingkat penyerahan oleh PKP yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah atau atas impor BKP yang tergolong mewah. Dengan demikian, PPnBM bukan merupakan pajak masukan (PM) dan tidak dapat dikreditkan.</p><p>PPnBM dapat ditambahkan ke dalam harga perolehan BKP atau dibebankan sebagai biaya sesuai ketentuan perundang-undangan PPh.</p><p>Sistem akuntansi PT ABS merekem debit dan kredit berikut pada saat barang impor diterima.</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Debit: Persediaan Bahan Baku Rp600.000.000</li><li>Debit: Pajak Masukan Rp55.000.000</li><li>Kredit: Kas Rp655.000.000</li></ul><p></p><p>PT ABS, sebagai produsen BKP yang tergolong mewah, menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bahan baku untuk menghasilkan BKP lain yang juga tergolong mewah dan atas penyerahannya harus dikenakan PPN 11% dan PPnBM 35%.</p><p>Karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang di impor tersebut tidak dapat dikreditkan, maka yang diimpor sebesar Rp100.000.000 dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang dihasilkan oleh PT ABS melalui prosedur akuntansi biaya.</p><p>Sebagai contoh, sistem akuntansi PT PT ABS membukukan debit dan kredit sebagai berikut untuk merekam penyelesaian baang jadi (BKP yang tergolong mewah).</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Debit: Persediaan Barang Jadi Rp1.500.000.000</li><li>Kredit: Persediaan Bahan Baku Rp600.000.000</li><li>Kredit: Utang Gaji dan Upah Rp400.000.000</li><li>Kredit: Overhead Rp500.000.000</li></ul><p></p><p>Perhatikan, persediaan bahan baku senilai Rp600.000.000 mencakup PPnBM yang dipungut pada saat impor sejumlah Rp100.000.000, karena PPnBM bukan pajak masukan.</p><p>PT ABS kemudian menjual BKP yang tergolong mewah yang dihasilkannya kepada PT BCL (PKP) dengan harga jual Rp2.000.000.000. Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang adalah sebagai berikut:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>PPN = Rp220.000.000 (= 11% × Rp2.000.000.000)</li><li>PPnBM = Rp700.000.000 (=35% × Rp2.000.000.000)</li></ul><p></p><p>Penjualan tersebut dibukukan sebagai berikut oleh PT ABS:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Debit: Piutang Usaha Rp2.920.000.000</li><li>Debit: Harga Pokok Penjualan Rp1.500.000.000</li><li>Kredit: Penjualan Rp2.000.000.000</li><li>Kredit: Persediaan Barang Jadi Rp1.500.000.000</li><li>Kredit: Pajak Keluaran Rp220.000.000</li><li>Kredit: Utang PPnBM Rp700.000.000</li></ul><p></p><p>PT ABS menerbitkan invoice senilai Rp2.920.000.000 yang mencakup harga jual, pungutan PPN, dan pungutan PPnBM. PT ABS juga harus menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN dan PPnBM.</p><p>Berdasarkan invoice dan faktur pajak, PT BCL membukukan debit dan kredit berikut.</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Debit: Persediaan Barang Dagangan Rp2.700.000.000</li><li>Debit: Pajak Masukan Rp220.000.000</li><li>Kredit: Utang Usaha Rp2.920.000.000</li></ul><p></p><p>Perhatikan, pajak masukan didebit oleh PT BCL sejumlah pungutan PPN, sedangkan pungutan PPnBM ditambahkan ke harga pokok persediaan.</p><h3 style="text-align: left;">Contoh 2</h3><p>PT ABG adalah importir umum kendaraan bermotor XYZ yang berdasarkan spesifikasi yang diatur dalam PMK-141/PMK.010/2021 termasuk BKP yang tergolong mewah dan atas penjualannya harus dikenakan PPnBM 20%. Kendaraan tersebut dijual kepada Putri Cendrawasih, isteri perwira POLRI dengan harga Rp1.000.000.000.</p><p>PT ABG juga memungut PPh pasal 22 atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri sebesar 0,45% dari dasar pengenaan PPN, terutang dan dipungut pada saat penjualan.</p><p>Faktur pajak yang dibuat oleh PT ABG mencakup PPN sebesar Rp110.000.000 (= 11% × Rp1.000.000.000) dan PPnBM sebesar Rp200.000.000 (= 20% × Rp1.000.000.000). PT ABG juga menerbitkan bukti pemungutan PPh pasal 22 senilai Rp4.500.000 (= 0,45% × Rp1.000.000.000).</p><p>Jumlah yang harus dibayar oleh Putri Cendrawasih adalah Rp1.314.500.000 (= Rp1.000.000.000 + Rp110.000.000 + Rp200.000.000 + Rp4.500.000).</p><p>PT ABG membukukan penjualan di atas sebagai berikut.</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Debit: Kas Rp1.314.500.000</li><li>Kredit: Penjualan Rp1.000.000.000</li><li>Kredit: Pajak Keluaran Rp110.000.000</li><li>Kredit: Utang PPnBM Rp200.000.000</li><li>Kredit: Utang PPh Pasal 22 Rp4.500.000</li></ul><p></p><p>Pajak Keluaran Rp110.000.000 adalah PPN yang dipungut oleh PT ABG sebagai PKP, dilaporkan dalam SPT masa PPN/PPnBM. Jumlah yang dibayarkan sebagai PPN kurang bayar adalah setelah dikurangi dengan Pajak Masukan.</p><p>Utang PPnBM Rp200.000.000 adalah PPnBM yang dipungut oleh PT ABG sebagai PKP yang menyerahkan BKP yang tergolong mewah, dilaporkan dalam SPT masa PPN/PPnBM. Berbeda dengan PPN yang Pajak Masukannya bisa dikreditkan, kredit pajak tidak berlaku untuk PPnBM. Jumlah Rp200.000.000 tersebut seluruhnya disetorkan oleh PT ABG ke kas negara.</p><p>Utang PPh Pasal 22 Rp4.500.000 adalah PPh pasal 22 yang dipungut oleh PT ABG sebagai pemungut PPh pasal 22. Jumlah tersebut dilaporkan dalam SPT masa unifikasi dan disetorkan seluruhnya ke kas negara.</p><p>Bukti pemungutan PPh pasal 22 seharusnya diarsipkan oleh Ricky, asisten kesayangan Putri, agar dapat dikreditkan dari PPh terutang keluarga Putri pada akhir tahun pajak.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-90450438599979079772023-07-29T08:00:00.000+07:002023-07-29T08:00:00.138+07:00PPN: pajak masukan, pajak keluaran, kredit pajak<p>Kredit pajak secara umum berarti pengurangan yang diperbolehkan setelah pajak terutang dihitung. Pajak terutang dikurangi kredit pajak sama dengan pajak yang kurang atau lebih disetor. Kredit pajak didefinisikan dan diatur baik dalam ketentuan PPh maupun PPN.</p><p>Menurut UU KUP pasal 1, kredit pajak untuk PPh adalah pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak, ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak (STP) karena PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.</p><p>Kredit pajak untuk PPh bisa dijabarkan dalam bentuk rumus:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>pajak yang dibayar sendiri oleh wajib pajak</li><li>ditambah pokok pajak yang terutang dalam STP karena PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar</li><li>ditambah pajak yang dipotong atau dipungut</li><li>ditambah pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri</li><li>dikurangi pengembalian pendahuluan kelebihan pajak</li></ul><p></p><p>Hasil dari penambahan dan pengurangan tersebut dikurangkan dari pajak yang terutang untuk menentukan PPh kurang atau lebih disetor dalam tahun pajak.</p><p>Penjelasan di atas hanya dimaksudkan untuk memberikan ulasan singkat saja terkait kredit pajak penghasilan. Pembahasan lebih lanjut difokuskan pada kredit pajak pertambahan nilai.</p><p>Dengan adanya aturan mengenai kredit pajak untuk PPN, pengusaha kena pajak (PKP) tidak menyetorkan seluruh hasil pemungutan PPN (pajak keluaran). Pajak keluaran dikurangi terlebih dahulu dengan pajak masukan untuk menentukan jumlah PPN yang harus disetorkan.</p><h2 style="text-align: left;">Apa yang dimaksud dengan kredit pajak?</h2><p>Menurut UU KUP pasal 1, kredit pajak untuk PPN adalah pajak masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.</p><p>Kredit pajak untuk PPN bisa dijabarkan dalam bentuk rumus:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>pajak masukan yang dapat dikreditkan</li><li>dikurangi pengembalian pendahuluan kelebihan pajak</li><li>dikurangi pajak yang telah dikompensasikan</li></ul><p></p><p>Hasil dari penambahan dan pengurangan tersebut dikurangkan dari pajak yang terutang. Pajak yang terutang adalah pajak keluaran, PPN, yang dipungut oleh PKP pada saat melakukan penyerahan BKP atau JKP.</p><p>Pajak masukan (PM) adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP, perolehan JKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean, pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean, atau impor BKP. Faktur pajak yang diterima dari lawan transaksi menjadi dasar pencatatan dan pengkreditan PM.</p><p>Pajak keluaran (PK) adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP. Faktur pajak yang diserahkan kepada lawan transaksi menjadi dasar pencatatan pajak keluaran.</p><p>UU PPN pasal 9 ayat (2) mengatur PM dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan PK dalam masa pajak yang sama. Jika dalam suatu masa pajak, PK lebih besar daripada PM, selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP [ayat (3)].</p><p>Sebagai contoh, selama masa pajak Agustus 2023 PT Angin Ribut (PT AR) memungut PPN dan menerbitkan faktur pajak sejumlah Rp1.100.000.000 terkait penyerahan BKP kepada pelanggan. Dalam masa pajak yang sama, PT AR membeli BKP dan JKP serta menerima faktur pajak dari pemasok sejumlah Rp800.000.000 yang semuanya dapat dikreditkan. PPN yang harus disetor oleh PT AR berjumlah Rp300.000.000 (= Rp1.100.000.000 – Rp800.000.000).</p><p>Perhatikan, berbeda dengan kredit pajak penghasilan yang dilakukan dalam penghitungan PPh yang kurang atau lebih bayar selama satu tahun pajak, kredit pajak pertambahan nilai dilakukan oleh PKP untuk setiap masa pajak.</p><p>UU PPN pasal 9 ayat (9) mengatur PM yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan PK pada masa pajak yang sama dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lama tiga masa pajak setelah berakhirnya masa pajak saat faktur pajak dibuat sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan BKP atau JKP, serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan UU PPN.</p><p>Sebagai contoh, PT Angin Ribut (PT AR) membeli BKP dari pemasok secara kredit pada bulan Agustus 2023. Faktur pajak baru diterima pada bulan November, ketika PT AR melakukan pembayaran. Faktur pajak masukan tersebut masih bisa dikreditkan pada bulan November.</p><p>UU PPN pasal 9 ayat (2b) mengatur pajak masukan yang dikreditkan harus menggunakan faktur pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) UU PPN.</p><h2 style="text-align: left;">Pajak masukan lebih besar daripada pajak keluaran</h2><p>UU PPN pasal 9 ayat (4) mengatur: jika dalam suatu masa pajak, PM yang dapat dikreditkan lebih besar daripada PK, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.</p><p>Sebagai contoh, pada masa pajak September 2023 pajak keluaran PT Angin Semilir (PT AS) berjumlah Rp2.000.000, sedangkan pajak masukannya berjumlah Rp4.500.000, sehingga menimbulkan kelebihan pajak sejumlah Rp2.500.000 (= Rp2.000.000 – Rp4.500.000).</p><p>Pada masa pajak Oktober 2023, pajak keluaran PT AS berjumlah Rp3.000.000, sedangkan pajak masukannya berjumlah Rp2.000.000, sehingga menimbulkan kurang bayar sejumlah Rp1.000.000 (= Rp3.000.000 – Rp2.000.000). Karena pada masa pajak September 2023 PT AS mengalami kelebihan pajak sejumlah Rp2.500.000, jumlah Rp1.000.000 dikompensasi sepenuhnya, dan masih menyisakan kelebihan pajak Rp1.500.000 (= Rp2.500.000 – Rp1.000.000) untuk dikompensasikan lagi pada masa pajak November 2023.</p><p>Ayat (4a) memungkinkan PKP untuk mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pajak masukan pada akhir tahun buku. Dengan kata lain, jika kelebihan PM terjadi pada masa pajak akhir tahun buku, kelebihan PM tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).</p><p>UU PPN pasal 9 ayat (4b) memungkinkan pengajuan permohonan pengembalian kelebihan pajak masukan pada setiap masa pajak hanya oleh PKP yang:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>melakukan ekspor BKP berwujud (huruf a)</li><li>melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP kepada Pemungut PPN (huruf b)</li><li>melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang PPN-nya tidak dipungut (huruf c)</li><li>melakukan ekspor BKP tidak berwujud (huruf d)</li><li>melakukan ekspor JKP (huruf e)</li></ul><p></p><p>UU PPN pasal 9 ayat (4b) merupakan kekhususan untuk PKP yang terlibat dalam transaksi-transaksi yang disebutkan di atas.</p><p>PKP yang tidak melakukan transaksi-transaksi tersebut mengkompensasi kelebihan PM ke masa pajak berikutnya dan bisa mengajukan permohonan pengembalian pada masa pajak akhir tahun buku seperti diatur dalam ayat (4a).</p><h2 style="text-align: left;">Pengembalian pendahuluan kelebihan pajak</h2><p>UU PPN pasal 9 ayat (4c) mengatur pengembalian kelebihan PM kepada PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yaitu PKP yang melakukan ekspor BKP berwujud, penyerahan BKP atau penyerahan JKP kepada Pemungut PPN, penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang PPN-nya tidak dipungut, ekspor BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP, yang mempunyai kriteria sebagai PKP berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17C ayat (1) UU KUP.</p><p>Perhatikan, “pengembalian pendahuluan kelebihan pajak” adalah frase yang berbeda dengan “pengembalian kelebihan pajak” tanpa disisipi kata “pendahuluan”. Pengembalian pendahuluan kelebihan pajak adalah fasilitas percepatan pengembalian pajak bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu.</p><p>Wajib pajak dengan kriteria tertentu adalah wajib pajak yang berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak dinilai:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>tepat waktu dalam menyampaikan SPT</li><li>tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk diangsur atau ditunda pembayarannya</li><li>laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama tiga tahun berturut-turut</li><li>tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu lima tahun terakhir</li></ul><p></p><p>Semua kriteria di atas harus terpenuhi seluruhnya untuk menjadi wajib pajak dengan kriteria tertentu.</p><p>Dengan fasilitas pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, PKP berhak menerima Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak dari Direktur Jenderal Pajak paling lama satu bulan sejak permohonan diterima secara lengkap.</p><p>Meskipun demikian UU PPN pasal 9 ayat (4e) juga memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan terhadap PKP berisiko rendah dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.</p><p>Jika berdasarkan hasil pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana diatur dalam UU KUP pasal 13 ayat (2).</p><h2 style="text-align: left;">Pajak masukan dapat dikreditkan dan tidak dapat dikreditkan</h2><p>PM pada dasarnya dapat dikreditkan dengan PK. UU PPN pasal 9 ayat (8) mengatur pengkreditan PM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha (huruf b)</li><li>perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) UU PPN atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP (huruf f)</li><li>pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6) UU PPN (huruf g)</li></ul><p></p><p>Apa yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha? Pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.</p><p>Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, PM juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang PPN. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan PM tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu jika pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang PPN.</p><p>UU PPN pasal 9 ayat (5) mengatur: jika dalam suatu masa pajak PKP melakukan:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>penyerahan yang terutang pajak dan pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahannya dapat dikreditkan (huruf a), dan</li><li>penyerahan yang terutang pajak dan pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahannya tidak dapat dikreditkan, atau penyerahan yang tidak terutang pajak (huruf b),</li></ul><p></p><p>dan jika bagian penyerahan yang terutang pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah PM yang dapat dikreditkan merupakan PM yang berkenaan dengan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, yaitu hanya mencakup PM yang dapat dikreditkan saja.</p><p>Apa yang dimaksud dengan "penyerahan yang terutang pajak" dalam ketentuan di atas? Penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan UU PPN dikenai PPN. Terdapat dua perlakuan PM atas penyerahan yang terutang pajak yaitu dapat dikreditkan atau tidak dapat dikreditkan.</p><p>Apa yang dimaksud dengan "penyerahan yang tidak terutang pajak"? Penyerahan yang tidak terutang pajak adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 16B UU PPN. PM atas penyerahan yang tidak terutang pajak tidak dapat dikreditkan.</p><p>PKP yang dalam suatu masa pajak melakukan penyerahan yang terutang pajak dan PM-nya dapat dikreditkan, penyerahan yang terutang pajak yang PM-nya tidak dapat dikreditkan, dan penyerahan yang tidak terutang pajak, hanya dapat mengkreditkan PM yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak dan PM-nya dapat dikreditkan. Bagian penyerahan yang terutang pajak tersebut harus dapat diketahui dengan pasti dari pembukuan PKP.</p><p>Sebagai contoh, PKP melakukan beberapa jenis penyerahan sebagai berikut.</p><p></p><ol style="text-align: left;"><li>penyerahan yang terutang pajak dan PM-nya dapat dikreditkan dengan harga jual sebesar Rp25.000.000 dengan PK sebesar Rp3.000.000, dengan asumsi pengenaan tarif normal sebesar 12%</li><li>penyerahan yang terutang pajak dan PM-nya tidak dapat dikreditkan dengan harga jual sebesar Rp20.000.000 dengan PK sebesar Rp400.000, dengan asumsi pengenaan tarif final sebesar 2%</li><li>penyerahan yang tidak terutang PPN sebesar Rp5.000.000, tanpa memungut PK.</li></ol><p></p><p>Jumlah PK yang harus dipungut sebesar Rp3.400.000 (= Rp3.000.000 + Rp400.000).</p><p>PM yang dibayar atas perolehan:</p><p></p><ol style="text-align: left;"><li>BKP dan JKP yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak dan PM-nya dapat dikreditkan sebesar Rp1.500.000</li><li>BKP dan JKP yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak dan PM-nya tidak dapat dikreditkan sebesar Rp1.000.000</li><li>BKP dan JKP yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak terutang pajak sebesar Rp300.000</li></ol><p></p><p>Jumlah PM yang telah dibayar sebesar Rp2.800.000 (= Rp1.500.000 + Rp1.000.000 + Rp300.000).</p><p>Menurut ketentuan ini, PM yang dapat dikreditkan dengan PK sebesar Rp3.400.000 hanya sebesar Rp1.500.000 yang berasal dari PM atas perolehan BKP dan JKP yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak.</p><p>UU PPN pasal 9 ayat (6) mengatur: jika dalam suatu masa pajak PKP melakukan</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>penyerahan yang terutang pajak dan pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahannya dapat dikreditkan (huruf a), dan</li><li>penyerahan yang terutang pajak dan pajak masukan yang berkenaan dengan penyerahannya tidak dapat dikreditkan, atau penyerahan yang tidak terutang pajak (huruf b), </li></ul><p></p><p>sedangkan pajak masukan sehubungan dengan penyerahan yang terutang pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan dihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan.</p><p>Sebagai contoh, PKP melakukan tiga macam penyerahan sebagai berikut.</p><p></p><ol style="text-align: left;"><li>penyerahan yang terutang pajak dan PM-nya dapat dikreditkan sebesar Rp35.000.000 dengan PK sebesar Rp4.200.000, dengan asumsi pengenaan tarif normal 12%</li><li>penyerahan yang terutang pajak dan PM-nya tidak dapat dikreditkan sebesar Rp20.000.000 dengan PK sebesar Rp400.000, dengan asumsi pengenaan tarif final 2%</li><li>penyerahan yang tidak terutang pajak sebesar Rp15.000.000, tanpa memungut PK.</li></ol><p></p><p>Jumlah PK yang harus dipungut sebesar Rp4.600.000 (= Rp4.200.000 + Rp400.000).</p><p>PM yang dibayar atas perolehan BKP dan JKP yang berkaitan dengan keseluruhan penyerahan sebesar Rp2.500.000, sedangkan PM yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak dan PM-nya dapat dikreditkan tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut ketentuan ini, PM sebesar Rp2.500.000 tidak seluruhnya dapat dikreditkan dengan pajak Keluaran sebesar Rp4.600.000.</p><p>Besarnya PM yang dapat dikreditkan dihitung berdasarkan pedoman pengkreditan PM.</p><h2 style="text-align: left;">PKP tidak melakukan penyerahan</h2><p>UU PPN pasal 9 ayat (2a) mengatur: PKP yang belum melakukan penyerahan BKP atau JKP dan belum melakukan ekspor BKP atau JKP tetap bisa melakukan pengkreditan pajak masukan. Pajak masukan yang dikreditkan bisa berasal dari perolehan BKP atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Kredit pajak harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU PPN.</p><p>UU PPN pasal 9 ayat (6a) mengatur: jika sampai dengan jangka waktu tiga tahun sejak masa pajak pengkreditan pertama kali pajak masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), PKP belum melakukan penyerahan BKP atau JKP atau ekspor BKP atau JKP terkait dengan pajak masukan tersebut, pajak masukan yang telah dikreditkan dalam jangka waktu tiga tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.</p><p>UU PPN pasal 9 ayat (6c) mengatur jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari tiga tahun.</p><p>Menurut UU PPN pasal 9 ayat (6d), ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berlaku juga bagi PKP yang melakukan pembubaran (pengakhiran) usaha, melakukan pencabutan PKP, atau dilakukan pencabutan PKP secara jabatan dalam jangka waktu tiga tahun sejak masa pajak pengkreditan pertama kali pajak masukan.</p><p>UU PPN pasal 9 ayat (6e) mengatur pajak masukan yang sudah tidak lagi dapat dikreditkan wajib dibayar kembali ke kas negara oleh PKP, dalam hal PKP:</p><p></p><ol style="text-align: left;"><li>telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas pajak masukan dimaksud, atau</li><li>telah mengkreditkan pajak masukan dimaksud dengan pajak keluaran yang terutang dalam suatu masa pajak (huruf a).</li></ol><p></p><p>Pajak masukan yang sudah tidak lagi dapat dikreditkan tidak dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian, setelah jangka waktu tiga tahun berakhir, atau pada saat pembubaran (pengakhiran) usaha, atau pencabutan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (6d), jika PKP melakukan kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud (huruf b).</p><p>UU PPN pasal 9 ayat (6f) mengatur pembayaran kembali pajak masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a dilakukan paling lambat:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu tiga tahun (huruf a)</li><li>akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu bagi sektor usaha tertentu (huruf b), atau</li><li>akhir bulan berikutnya setelah tanggal pembubaran (pengakhiran) usaha atau pencabutan PKP (huruf c).</li></ul><p></p><p>UU PPN pasal 9 ayat (6g) mengatur: jika PKP tidak melaksanakan kewajiban pembayaran kembali sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6f), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar kembali oleh PKP ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana diatur dalam pasal 13 ayat (2a) UU KUP.</p><h2 style="text-align: left;">Pajak masukan sebelum menjadi PKP</h2><p>UU PPN pasal 9 ayat (9a) mengatur pajak masukan sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP dapat dikreditkan oleh PKP dengan menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan sebesar 80% dari pajak keluaran yang seharusnya dipungut.</p><h2 style="text-align: left;">Pajak masukan diberitahukan atau ditemukan saat pemeriksaan</h2><p>UU PPN pasal 9 ayat (9b) mengatur pajak masukan yang tidak dilaporkan dalam SPT masa PPN yang diberitahukan atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh PKP sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan UU PPN.</p><h2 style="text-align: left;">Pajak masukan ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak</h2><p>UU PPN pasal 9 ayat (9c) mengatur pajak masukan yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh PKP sebesar jumlah pokok PPN yang tercantum dalam ketetapan pajak dengan ketentuan ketetapan pajak dimaksud telah dilakukan pelunasan dan tidak dilakukan upaya hukum serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan UU PPN.</p><h2 style="text-align: left;">Pajak masukan dalam kaitan dengan reorganisasi bisnis</h2><p>UU PPN pasal 9 ayat (14) mengatur: jika terjadi pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, pajak masukan atas BKP yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh PKP yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh PKP yang menerima pengalihan sepanjang faktur pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan pajak masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.</p><h2>Ketentuan terkait faktur pajak</h2><p>Faktur pajak adalah bukti pemungutan PPN yang diterbitkan oleh PKP pada saat melakukan penyerahan BKP atau JKP. UU PPN pasal 13 ayat (5) mengharuskan faktur pajak mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP atau penyerahan JKP, paling sedikit memuat:</p><p></p><ul><li>nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (huruf a)</li><li>identitas pembeli BKP atau penerima JKP (huruf b)</li><li>jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga (huruf c)</li><li>PPN yang dipungut (huruf d)</li><li>PPnBM yang dipungut (huruf e)</li><li>kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak (huruf f), dan</li><li>nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak (huruf g)</li></ul><p></p><p>Identitas pembeli BKP atau penerima JKP (huruf b) meliputi:</p><p></p><ol><li>nama, alamat, dan NPWP atau NIK atau nomor paspor bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi, atau</li><li>nama dan alamat, dalam hal pembeli BKP atau penerima JKP merupakan subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU PPh</li></ol><p></p><p>Faktur pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara benar, lengkap, dan jelas.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-61908977987551897252023-07-28T08:00:00.008+07:002023-07-28T08:00:00.135+07:00Dasar pengenaan pajak (DPP) PPN<p>Harga jual merupakan salah satu DPP <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/cara-menghitung-ppn.html">PPN</a> yang paling populer. Anda beli laptop seharga Rp5.550.000, setelah dicek di nota penjualan harganya ternyata Rp5.000.000 ditambah PPN 11%. Tapi DPP PPN bukan hanya harga jual.</p><p>UU PPN pasal 8A mengatur DPP PPN mencakup harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain.</p><p>Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">BKP</a>, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.</p><p>Sebagai contoh, PKP A menjual tunai BKP dengan harga jual Rp10.000.000. Dengan asumsi <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/tarif-ppn-ppnbm-cara-menghitung.html">tarif PPN</a> 12% sudah berlaku, PPN yang terutang = 12% × Rp10.000.000 = Rp1.200.000. PPN sebesar Rp1.200.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh PKP A.</p><p>Pajak Keluaran selama satu masa pajak dikurangi Pajak Masukan selama satu masa pajak adalah jumlah PPN yang harus disetor oleh PKP untuk masa pajak tersebut.</p><p>Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP tidak berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.</p><p>Penggantian juga bisa berarti nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP atau oleh penerima manfaat BKP tidak berwujud karena pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.</p><p>Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPnBM yang dipungut menurut UU PPN.</p><p>Sebagai contoh, Santi mengimpor BKP tertentu dengan nilai impor Rp10.000.000. Dengan asumsi tarif 12% sudah berlaku, PPN yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 12% × Rp10.000.000 = Rp1.200.000.</p><p>Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.</p><p>Sebagai contoh, PKP D melakukan ekspor BKP dengan nilai ekspor Rp10.000.000. PPN yang terutang = 0% × Rp10.000.000 = Rp0. PPN sebesar Rp0 tersebut merupakan Pajak Keluaran.</p><p>PPN juga bisa dihitung berdasarkan nilai tertentu selain yang didefinisikan di atas. Sebagai contoh, nilai lain digunakan sebagai DPP PPN atas kegiatan membangun sendiri (KMS).</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-26591375807197885882023-07-27T08:00:00.025+07:002023-07-27T08:00:00.130+07:00PPnBM adalah pajak penjualan di tingkat produsen dan importir<p>Pengusaha Kena Pajak (PKP) bukan hanya berkewajiban memungut <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/cara-menghitung-ppn.html">PPN</a>, tetapi juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). PPnBM juga berkaitan dengan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/objek-ppn.html">barang kena pajak (BKP)</a>, sehingga PKP yang memungut PPnBM pasti juga memungut PPN. Meskipun demikian, tidak semua PKP memungut PPnBM.</p><p>Bagi PKP yang juga memungut PPnBM, Surat Pemberitahuan (SPT) masa juga melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPnBM yang terutang. PPnBM yang dipungut menjadi terutang bagi PKP pada akhir masa pajak. SPT masa disampaikan setelah PPnBM yang terutang sudah disetorkan.</p><p>Konon, katanya, pertimbangan negara memungut PPnBM adalah:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>untuk menyeimbangkan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi</li><li>untuk mengendalikan pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah</li><li>untuk melindungi produsen kecil atau tradisional</li><li>untuk mengamankan penerimaan negara</li></ul><p></p><p>Anda boleh percaya, boleh juga tidak, tapi yang paling jujur sepertinya adalah pertimbangan yang terakhir.</p><h2 style="text-align: left;">Apakah PPnBM?</h2><p>UU PPN pasal 5 ayat (1) mengatur PPnBM dikenakan atas:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya (huruf a)</li><li>impor BKP yang tergolong mewah</li></ul><p></p><p>Pengusaha yang menghasilkan biasa disebut produsen. Berbeda dengan PPN yang dikenakan pada setiap tahap rantai nilai, PPnBM dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh produsen, atau pada waktu impor BKP yang tergolong mewah.</p><p>Dengan kata lain, PKP yang bukan produsen atau tidak mengimpor BKP yang tergolong mewah, seperti distributor atau pengecer, tidak memungut PPnBM.</p><p>Mengapa ketentuan UU PPN pasal 5 ayat (1) huruf a di atas tidak secara eksplisit menyebut PKP tetapi pengusaha? Yang dimaksud sebenarnya adalah pengusaha selain pengusaha kecil, mencakup PKP dan pengusaha yang seharusnya sudah menjadi PKP.</p><p>Pengenaan PPnBM atas impor BKP yang tergolong mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor BKP tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus-menerus atau hanya sekali saja.</p><p>Pengenaan PPnBM atas penyerahan BKP yang tergolong mewah juga tidak memperhatikan apakah bagian dari BKP tersebut sudah dikenai atau tidak dikenai PPnBM pada transaksi sebelumnya.</p><h2 style="text-align: left;">Menghasilkan BKP</h2><p>Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.</p><p>Penjelasan pasal 5 ayat (1) juga merinci pengertian “menghasilkan” yang mencakup kegiatan:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi seperti merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga</li><li>memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak</li><li>mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain</li><li>mengemas, yaitu menempatkan suatu barang kedalam suatu benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya</li><li>membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu</li><li>kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan di atas atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan tersebut</li></ul><p>Apakah barang yang tergolong mewah?</p><p></p><p>BKP yang tergolong mewah adalah:</p><p></p><ol style="text-align: left;"><li>barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok</li><li>barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu</li><li>barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi</li><li>barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status</li></ol><p></p><p>Apa saja barang yang dikenakan PPnBM? BKP yang tergolong mewah dikelompokkan sebagai berikut.</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Kendaraan bermotor, kecuali untuk kendaraan ambulan, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran, kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum, kepentingan negara</li><li>Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, totan house, dan sejenisnya</li><li>Kelompok pesawat udara, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga</li><li>Kelompok balon udara</li><li>Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara</li><li>Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum atau usaha pariwisata</li></ul><p></p><p>Artikel selanjutnya membahas lebih detail mengenai tarif, baik yang berlaku untuk PPN maupun PPnBM.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-50734004127714150912023-07-26T08:00:00.035+07:002023-07-26T08:00:00.135+07:00Perlakuan PPN atas emas perhiasan<p>Apakah Anda, atau perusahaan Anda, merupakan pabrikan emas perhiasan atau pedagang emas perhiasan? Terlepas dari skala usaha Anda, besar atau kecil, pabrikan emas perhiasan dan pedagang emas perhiasan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). [PMK-48/2023 pasal 13 ayat (1)]</p><p>Dalam ketentuan pajak, PKP berasosiasi langsung dengan <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/cara-menghitung-ppn.html">Pajak Pertambahan Nilai (PPN)</a>. Dengan menjadi PKP berarti Anda wajib memungut PPN atas penyerahan barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Anda wajib menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN, mengkreditkan faktur pajak masukan terhadap faktur pajak keluaran, menyetorkan PPN kurang bayar, dan menyampaikan SPT masa PPN setiap bulan.</p><p>Dan sekali lagi, menjadi PKP adalah kewajiban Anda yang berbisnis di bidang emas perhiasan, baik sebagai pabrikan maupun sebagai pedagang/toko emas, terlepas dari besar atau kecilnya skala usaha Anda.</p><p>Artikel ini merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya mengenai <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/pph-pasal-22-emas-perhiasan.html">perlakuan PPh atas emas perhiasan</a>. Di artikel tersebut, WSD sudah menjelaskan kewajiban pengusaha emas perhiasan untuk memungut PPh pasal 22 dari pembeli yang juga sama-sama pengusaha.</p><p>Berbeda dengan PPh pasal 22 yang hanya saling-pungut di antara pengusaha, PPN dikenakan atas penyerahan emas perhiasan, baik antar pengusaha emas maupun dari pengusaha emas ke konsumen akhir.</p><p>Mari kita kembali ke contoh PT Mase Anita dan Bagus Suraji. Pada tanggal 5 Oktober 2023 PT Mase Anita, pabrikan emas perhiasan, menjual secara tunai perhiasan emas hasil produksinya sendiri dengan total harga jual Rp1.000.000.000 kepada Banu Suraji, saudagar emas yang kaya-raya. PT Mase Anita memungut PPh pasal 22 sebesar Rp2.500.000 (= 0,25% × Rp1.000.000.000).</p><p>Berdasarkan ketentuan PMK-48/2023 pasal 14, PT Mase Anita sebagai PKP pabrikan emas perhiasan juga wajib memungut PPN atas penyerahan emas perhiasan dengan besaran tertentu. Anda perhatikan frase terakhir, “dengan besaran tertentu”.</p><p>Contoh di artikel ini sekaligus mengilustrasikan kepada Anda pengenaan PPN yang diterapkan dengan besaran tertentu yang diturunkan dari tarif umum, tidak menggunakan tarif umum secara langsung.</p><p>Besaran tertentu atas penyerahan emas perhiasan oleh PKP pabrikan emas perhiasan adalah sebesar 10% dari tarif PPN dikalikan dengan harga jual. Ketentuan ini hanya berlaku untuk penyerahan emas perhiasan hasil produksi sendiri oleh PKP pabrikan emas perhiasan kepada pabrikan emas perhiasan lainnya dan pedagang emas perhiasan. Dengan tarif PPN 11% yang berlaku saat ini, 10% dari 11% adalah 1,1%. Ribet sekali, ya…</p><p>Harga jual emas perhiasan yang diserahkan oleh PT Mase Anita (pabrikan) kepada Bagus Suraji (pedagang) adalah Rp1.000.000.000, sehingga PPN yang dipungut berjumlah Rp11.000.000 (= 1,1% × Rp1.000.000.000).</p><p>PT Mase Anita kini harus menyiapkan tiga dokumen sekaligus: nota penjualan senilai Rp1.013.500.000, bukti pemungutan PPh pasal 22 senilai Rp2.500.000, dan faktur pajak senilai Rp11.000.000.</p><p>Sistem akuntansi PT Mase Anita membukukan transaksi penjualan dan pemungutan pajak di atas sebagai berikut.</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Debit: Kas Rp1.013.500.000</li><li>Kredit: Penjualan Rp1.000.000.000</li><li>Kredit: Utang PPh pasal 22 Rp2.500.000</li><li>Kredit: Pajak keluaran Rp11.000.000</li></ul><p></p><p>PT Mase Anita harus menyetorkan utang PPh pasal 22 ke kas negara dan menyampaikan SPT masa PPh unifikasi. Selisih lebih pajak keluaran dikurangi pajak masukan adalah PPN kurang bayar yang juga harus disetorkan ke kas negara. PT Mase Anita juga wajib menyampaikan SPT masa PPN untuk melaporkan pemungutan di atas.</p><p>Bagus Suraji, wajib pajak orang pribadi yang sudah menyelenggarakan pembukuan, merekam pembelian emas perhiasan sebagai berikut.</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Debit: Persediaan Rp1.000.000.000</li><li>Debit: PPh pasal 22 Rp2.500.000</li><li>Debit: Pajak masukan Rp11.000.000</li><li>Kredit: Kas Rp1.013.500.000</li></ul><p></p><p>Bukti pemungutan diarsipkan oleh asisten Bagus Suraji untuk dasar kredit pajak pada akhir tahun. Faktur pajak menjadi pajak masukan bagi Bagus Suraji untuk dikreditkan atas pajak keluaran dalam menentukan PPN kurang atau lebih bayar pada akhir bulan.</p><p>Besaran tertentu 10% dari tarif PPN seperti yang dicontohkan di atas juga berlaku untuk penyerahan emas perhiasan hasil produksi sendiri oleh pabrikan emas perhiasan kepada pabrikan emas perhiasan lainnya. Dengan kata lain, tarif 1,1% itu hanya berlaku untuk penyerahan kepada sesama pengusaha emas perhiasan.</p><p>Besaran tertentu 10% dari tarif PPN tidak berlaku untuk penyerahan oleh pabrikan kepada konsumen akhir. Jika pabrikan perhiasan menjual langsung perhiasan emas hasil produksi sendiri kepada ibu-ibu isteri pejabat yang suka pamer di medsos, tarifnya adalah 15% dari 11%, atau 1,65%. Bukan karena suka pamer ibu-ibu itu dipungut PPN dengan tarif lebih besar, tapi karena mereka adalah pengguna perhiasan (konsumen akhir).</p><p>Sebagai contoh, ketika Putri Cendrawasih, isteri pejabat POLRI di alternate universe, membeli perhiasan emas langsung dari pabrikan, PT Mase Anita, seharga Rp500.000.000, dia akan dikutip PPN Rp8.250.000 (= 15% × 11% × Rp500.000.000).</p><p>Ya, tarif efektif pemungutan PPN oleh pabrikan emas perhiasan berbeda, lebih tinggi untuk penyerahan emas perhiasan hasil produksi sendiri kepada konsumen akhir daripada kepada sesama pengusaha perhiasan emas. Meskipun demikian, konsumen akhir tidak akan dipungut PPh pasal 22.</p><p>Bagaimana jika penyerahan dilakukan bukan oleh pabrikan, tetapi oleh pedagang? Besaran PPN yang dipungut oleh PKP pedagang emas perhiasan adalah 10% dari tarif PPN. Ketentuan tersebut berlaku untuk penyerahan, baik kepada pedagang emas perhiasan lainnya maupun kepada konsumen akhir. Syaratnya, PKP penjual memiliki faktur pajak pada saat membeli emas perhiasan yang dijual kembali itu.</p><p>Jika PKP penjual tidak memperoleh faktur pajak saat membeli, misalnya karena malas memberikan NPWP saat kulakan emas, besaran PPN yang harus dipungut menjadi 15% dari tarif PPN pada saat pedagang itu menjual kembali.</p><p>Pedagang emas bisa saja menjual emas kepada pabrikan emas. Sebagai contoh, ibu-ibu sosialita yang sudah bosan dengan perhiasannya menjual kembali ke toko emas tempat mereka membelinya dulu. Barang-barang bekas itu bisa saja dijual kembali ke pabrikan untuk diolah menjadi perhiasan emas yang baru. Dalam kasus ini, besaran tertentu PPN atas penyerahan emas perhiasan oleh pedagang kepada pabrikan emas adalah 0% dari tarif PPN.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-31058037998524765412023-07-25T08:00:00.049+07:002023-07-25T08:00:00.131+07:00Objek PPN adalah transaksi terkait barang dan jasa<p> Artikel sebelumnya tentang cara menghitung PPN lebih tepat ditujukan bagi ibu-ibu sosialita yang gemar belanja. Jika Anda adalah pengusaha, mahasiswa akuntansi, pegawai pemerintah yang bertugas mengurus pajak terkait pengadaan barang dan jasa, atau pembelajar pajak yang ingin menjadi konsultan, PPN bukan hanya mengalikan harga dengan tarif.</p><p>Di artikel sebelumnya, WSD juga mengulas barang dan jasa yang bisa dikenai PPN (BKP dan JKP), serta barang dan jasa yang pasti tidak kena PPN. Secara default, semua barang dan jasa bisa kena PPN, kecuali…yang belakangan ternyata pengecualian itu banyak sekali yang dihapus.</p><p>Tapi tunggu dulu. Bicara pajak Anda harus menyadari apa sebenarnya yang dipajaki. Apa yang sebenarnya dipajaki itulah yang disebut objek pajak. UU PPN pasal 4 ayat (1) mengatur PPN dikenakan atas:</p><p></p><ol style="text-align: left;"><li>penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha (huruf a)</li><li>impor BKP (huruf b)</li><li>penyerahan JKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha (huruf c)</li><li>pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean (huruf d)</li><li>pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean (huruf e)</li><li>ekspor BKP berwujud oleh PKP (huruf f)</li><li>ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP (huruf g)</li><li>ekspor JKP oleh PKP (huruf h)</li></ol><p></p><p>Perhatikan, meskipun yang disebut kena pajak itu barang dan jasa, tapi objek PPN sebenarnya adalah transaksi yang melibatkan barang dan jasa yang kena pajak. Transaksi itu bisa berupa penyerahan, impor, pemanfaatan, dan ekspor.</p><p>Memahami norma hukum tidak sama dengan menghafal. Tapi coba cermati frase-frase di atas. UU PPN pada dasarnya membedakan barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) yang transaksinya dikenai PPN. Lebih lanjut, BKP juga dibedakan menjadi…dua atu tiga: BKP saja, BKP berwujud, dan BKP tidak berwujud.</p><p>Anda juga bisa mencermati: ketentuan di atas membedakan pengusaha dengan pengusaha kena pajak (PKP). Yup, Anda harus secermat itu untuk memahami, dan bukan menghafal dengan cara SKS (sistem kebut semalam).</p><p>Dan sekarang Anda sudah naik level, bukan lagi belajar untuk sekadar sadar PPN, tapi memang belajar untuk memahami PPN luar-dalam.</p><p>Sebelum membahas pengertian dari frase-frase di atas, WSD mengutip dulu UU PPN pasal 16C. Ketentuan pasal 16C mengatur PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.</p><p>Kita petik saja frase kuncinya, yaitu kegiatan membangun sendiri (KMS). Jadi selain dikenakan atas transaksi penyerahan, impor, pemanfaatan, dan ekspor BKP atau JKP, PPN juga menyasar KMS.</p><h2 style="text-align: left;">Pengusaha dan pemungut PPN</h2><p>Berbeda dengan UU PPh yang menyebutkan aktor utama adalah subjek pajak dan wajib pajak, aktor utama dalam UU PPN adalah pengusaha dan pemungut PPN. Normalnya, semua pengusaha tentu saja wajib pajak penghasilan. Tapi tidak semua wajib pajak adalah pengusaha menurut definisi dalam UU PPN.</p><p>Ya, WSD tegaskan pengusaha menurut definisi dalam UU PPN. Anda mungkin menggunakan kata pengusaha dalam kehidupan sehari-hari. Si kasir cantik tidak ingin bersuami pegawai, dia ingin bersanding dengan pengusaha. Tapi selagi belajar PPN, tinggalkan pengertian umum dalam kamus atau pengertian sehari-hari. Mari kembali ke UU PPN.</p><p>Siapakah pengusaha menurut UU PPN? Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. Pengusaha bisa orang atau badan menurut ketentuan PPN. Jadi mustahil si kasir cantik ingin bersanding dengan firma atau CV. Si kasir cantik pasti membayangkan pemuda ganteng dan berduit, bukan pria kucel yang menghabiskan waktu main game online sepanjang hari.</p><p>Pengusaha kena pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN. [UU PPN pasal 1]</p><p>Dengan membandingkan kedua pengertian di atas, Anda memahami tidak semua pengusaha menjadi PKP. UU PPN pasal 3A juga menyebut frase pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh menteri keuangan.</p><p>Ketentuan PPN pasal 3A ayat (1) mengatur pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau JKP, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh menteri keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang.</p><p>Siapakah pengusaha kecil? PMK-68/PMK.03/2010 yang pasal 1-nya diubah dengan PMK-197/PMK.03/2013 mengatur pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP atau JKP dalam rangka kegiatan usaha dengan jumlah peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000.</p><p>Pengusaha kecil tidak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP dan tidak wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan BKP atau JKP yang dilakukannya. Meskipun demikian, pengusaha kecil bisa saja memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.</p><p>Sampai di sini Anda seharusnya menyadari mengapa, meskipun hampir semua barang dan jasa itu kena PPN, tapi Bu RT yang membuka warung di seberang rumah sepertinya tidak memungut PPN ketika Anda membeli sabun mandi.</p><p>Yang menakutkan adalah, jika ada pengusaha yang seharusnya sudah memenuhi syarat sebagai PKP tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, pengukuhannya bisa dilakukan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak. [UU KUP pasal 2 ayat (4)]</p><p>Mengapa menakutkan? Karena, kewajiban perpajakan bagi pengusaha yang dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan dimulai sejak saat pengusaha itu seharusnya memenuhi syarat, paling lama lima tahun sebelum dikukuhkan sebagai PKP. Artinya, Anda bisa saja menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atas PPN yang seharusnya disetorkan selama beberapa tahun ditambah sanksi administrasi.</p><p>Itulah mengapa, UU PPN pasal 4 ayat (1) mengatur objek PPN di antaranya adalah penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha (huruf a) dan penyerahan JKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha (huruf c). Ketentuan tersebut tidak secara eksplisit menyebut pengusaha kena pajak (PKP), tapi secara nyata memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan pemeriksaan dan menagih PPN meskipun Anda belum menjadi PKP.</p><p>PPN juga dipungut oleh, yang dalam ketentuan PPN disebut, pemungut PPN. Inilah dia aktor dalam UU PPN selain PKP.</p><p>Siapakah yang dimaksud pemungut PPN? Pemungut PPN adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menteri keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh PKP atas penyerahan BKP atau JKP kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah. [UU PPN pasal 1] Intinya, jika PKP menjual barang atau jasa kepada pemerintah, PKP hanya menerbitkan faktur pajak. Administrasi PPN selebihnya dilakukan oleh bendahara pemerintah.</p><p>Setelah membahas aktor, mari kembali ke topik utama, yaitu transaksi yang menjadi objek PPN.</p><h2 style="text-align: left;">Penyerahan BKP bukan hanya jual-beli</h2><p>Ketentuan PPN mendefinisikan barang yang mencakup barang berwujud dan barang tidak berwujud. Mengacu pada KUHD, barang berwujud dilihat menurut sifat atau hukumnya, yang bisa berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak. Barang tidak bergerak terutama adalah properti, berupa tanah dan bangunan. PPN hanya dikenakan atas transaksi yang melibatkan barang kena pajak (BKP).</p><p>Perhatikan, kata yang dipilih dalam UU PPN adalah “penyerahan”, bukan “penjualan” atau “pembelian” BKP. Mengapa? Jual-beli hanya salah satu contoh penyerahan, tapi penyerahan juga mencakup transaksi selain jual-beli.</p><p>Jika Anda benar-benar ingin menguasai PPN luar-dalam, untuk memahami definisi penyerahan BKP, Anda simak dulu yang TIDAK termasuk penyerahan BKP menurut UU PPN [pasal 1A ayat (2)].</p><p></p><ol style="text-align: left;"><li>penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam KUHD (huruf a)</li><li>penyerahan BKP untuk jaminan utang-piutang (huruf b)</li><li>penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya, atau penyerahan BKP antar-cabang, jika PKP melakukan pemusatan tempat pajak terutang (huruf c)</li><li>pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan BKP untuk tujuan setoran modal pengganti saham, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah PKP (huruf d)</li><li>BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan dan yang pajak masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan (huruf e)</li></ol><p></p><p>Penjelasan huruf a. "Makelar" yang dimaksud dalam KUHD adalah pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden, atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Makelar menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.</p><p>Penjelasan huruf b. Penyerahan barang, yang menurut ketentuan PPN termasuk kena pajak, oleh peminjam kepada pemberi pinjaman atau sebaliknya, tidak termasuk penyerahan BKP yang menjadi objek PPN.</p><p>Penjelasan huruf c. Jika PKP mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang, dan PKP tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan BKP dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, kecuali pemindahan BKP antar-tempat pajak terutang.</p><p>Penjelasan huruf d. Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan BKP untuk tujuan setoran modal pengganti saham, yang dilakukan oleh:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>PKP kepada PKP lainnya, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP sehingga tidak ada PPN yang terutang</li><li>pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai PKP, termasuk dalam pengertian penyerahan BKP, sehingga terdapat PPN yang terutang, namun tidak dipungut oleh pengusaha tersebut karena belum atau tidak dikukuhkan sebagai PKP</li><li>PKP kepada pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai PKP, termasuk dalam pengertian penyerahan BKP sehingga terdapat PPN yang terutang yang harus dipungut oleh PKP. Jika BKP yang dialihkan berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan maka PPN yang dikenakan atas pengalihan BKP tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan</li></ul><p></p><p>Penjelasan huruf e. BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP.</p><p>Well, semua penyerahan yang diuraikan di atas bukan penyerahan BKP, sehingga tidak menimbulkan PPN yang terutang.</p><p>Lantas penyerahan yang mana yang merupakan penyerahan BKP? UU PPN pasal 1A ayat (1) mengatur yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian (huruf a)</li><li>pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli atau perjanjian sewa guna usaha (leasing) (huruf b)</li><li>penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang (huruf c)</li><li>pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma atas BKP (huruf d)</li><li>BKP berupa persediaan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan (huruf e)</li><li>penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya atau penyerahan BKP antar-cabang (huruf f)</li><li>penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari PKP kepada pihak yang membutuhkan BKP (huruf h)</li></ul><p></p><p>Penjelasan huruf a. "Perjanjian" meliputi jual-beli, tukar-menukar, jual-beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.</p><p>Penjelasan huruf b. Penyerahan BKP dapat terjadi karena perjanjian sewa beli atau perjanjian sewa guna usaha (leasing).</p><p>"Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)" adalah penyerahan BKP yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi.</p><p>Dalam penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, BKP dianggap diserahkan langsung dari PKP pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).</p><p>Penjelasan huruf c. "Pedagang perantara" adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.</p><p>"Juru lelang" adalah juru lelang Pemerintah atau yang ditunjuk oleh Pemerintah.</p><p>Penjelasan huruf d. "Pemakaian sendiri" adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.</p><p>"Pemberian cuma-cuma" adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.</p><p>Penjelasan huruf e. BKP berupa persediaan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan BKP.</p><p>Penjelasan huruf f. Jika perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang, pemindahan BKP antar-tempat tersebut merupakan penyerahan BKP.</p><p>"Pusat" adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan. "Cabang" antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya.</p><p>Penjelasan huruf h. Sebagai contoh, dalam transaksi murabahah bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari PKP A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan UU PPN, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh PKP A kepada Tuan B.</p><h2 style="text-align: left;">Penyerahan BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha</h2><p>Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP</li><li>barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP tidak berwujud</li><li>penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean</li><li>penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya</li></ul><p></p><p>Penyerahan BKP yang dikenai PPN hanya yang terjadi di dalam daerah pabean. Apa yang dimaksud dengan daerah pabean? Daerah pabean adalah wilayah RI yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku UU Kepabeanan.</p><p>Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan BKP meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan menjadi PKP, tetapi belum dikukuhkan.</p><h2 style="text-align: left;">Impor BKP</h2><p>Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. PPN juga dipungut pada saat impor BKP. Pemungutan dilakukan melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Berbeda dengan penyerahan BKP pada huruf a, siapapun yang memasukkan BKP ke dalam daerah pabean, tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenai PPN.</p><h2 style="text-align: left;">Penyerahan JKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha</h2><p>Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN. Penyerahan JKP berarti setiap kegiatan pemberian JKP.</p><p>Penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>jasa yang diserahkan merupakan JKP</li><li>penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean</li><li>penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya</li></ul><p></p><p>Termasuk dalam pengertian penyerahan JKP adalah JKP yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri atau yang diberikan secara cuma-cuma.</p><p>Pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan JKP meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai PKP, tetapi belum dikukuhkan.</p><h2 style="text-align: left;">Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean</h2><p>Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.</p><p>Untuk dapat memberikan perlakuan pengenaan pajak yang sama dengan impor BKP, atas BKP tidak berwujud yang berasal dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam daerah pabean juga dikenai PPN.</p><p>Sebagai contoh, pengusaha A yang berkedudukan di Jakarta memperoleh hak menggunakan merek yang dimiliki pengusaha B yang berkedudukan di Hongkong. Atas pemanfaatan merek tersebut oleh pengusaha A di dalam daerah pabean terutang PPN.</p><h2 style="text-align: left;">Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean</h2><p>Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Jasa yang berasal dari luar daerah pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam daerah pabean dikenai PPN.</p><p>Sebagai contoh, PKP C di Surabaya memanfaatkan JKP dari pengusaha B yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan JKP tersebut terutang PPN.</p><h2 style="text-align: left;">Ekspor BKP berwujud oleh PKP</h2><p>Ekspor BKP berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan BKP berwujud dari dalam daerah pabean ke luar daerah pabean. Ekspor BKP berwujud yang terutang PPN hanya yang dilakukan oleh pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP.</p><h2 style="text-align: left;">Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP</h2><p>Sebagaimana halnya dengan kegiatan ekspor BKP berwujud, pengusaha yang melakukan ekspor BKP tidak berwujud hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP.</p><p>BKP tidak berwujud adalah:</p><p></p><ol style="text-align: left;"><li>Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya</li><li>penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah</li><li>pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial</li><li>pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3</li><li>penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio</li><li>pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.</li></ol><p></p><p>Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap (angka 4) bisa berupa:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serta optik, atau teknologi yang serupa</li><li>penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa</li><li>penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi</li></ul><p></p><h2 style="text-align: left;">Ekspor JKP oleh PKP</h2><p>Ekspor JKP mencakup penyerahan JKP dari dalam daerah pabean ke luar daerah pabean oleh PKP yang menghasilkan dan melakukan ekspor BKP berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar daerah pabean.</p><p>Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis JKP yang atas ekspornya dikenai PPN diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.</p><h2 style="text-align: left;">Penutup</h2><p>Anda tidak perlu menghafal materi di atas untuk menguasai PPN. Kenali konsep-konsep dan frase-frase yang digunakan dan asosiasikan satu konsep dengan konsep yang lain. Berikut adalah kata-kata kunci terkait objek PPN: penyerahan, impor, pemanfaatan, ekspor, BKP, BKP berwujud, BKP tidak berwujud, JKP.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-7566440501819501512023-07-24T08:00:00.019+07:002023-07-24T08:00:00.135+07:00PPN dengan besaran tertentu (pasal 9A)<p>PPN dengan besaran tertentu, atau PPN final, adalah ketentuan baru yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).</p><p>Konon, ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan administrasi perpajakan serta rasa keadilan, prinsip yang sama dengan yang digunakan dalam pengenaan PPh final untuk UMKM.</p><p>UU PPN pasal 9A ayat (1) mengatur Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>mempunyai peredaran usaha dalam satu tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu (huruf a)</li><li>melakukan kegiatan usaha tertentu (huruf b)</li><li>melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) tertentu (huruf c)</li></ul><p></p><p>dapat memungut dan menyetorkan PPN dengan besaran tertentu yang terutang atas penyerahan BKP/JKP.</p><p>Frase “PKP yang mempunyai peredaran usaha dalam satu tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu” (huruf a) seperti mengarah ke wajib pajak UMKM yang selama ini dikenai PPh final. Di masa depan, pengusaha kecil bisa jadi dibebani dengan kewajiban memungut PPN.</p><p>PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu (huruf b) antara lain yang:</p><p></p><ol style="text-align: left;"><li>mengalami kesulitan dalam mengadministrasikan Pajak Masukan (PM)</li><li>melakukan transaksi melalui pihak ketiga, baik penyerahan BKP/JKP maupun pembayarannya</li><li>memiliki kompleksitas proses bisnis sehingga pengenaan PPN tidak memungkinkan dilakukan dengan mekanisme normal</li></ol><p></p><p>Apakah yang dimaksud dengan BKP/JKP tertentu? BKP/JKP tertentu (huruf c) adalah:</p><p></p><ol style="text-align: left;"><li>BKP/JKP yang dikenai PPN dalam rangka perluasan basis pajak, dan</li><li>BKP yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak</li></ol><p></p><p>Contoh BKP/JKP tertentu yang kemungkinan dikenai PPN final adalah jasa pengiriman paket, jasa biro atau agen perjalanan wisata yang bisa berupa paket wisata, pemesanan sarana angkutan, dan pemesanan sarana akomodasi wisata, yang penyerahannya tidak didasari pemberian imbalan berupa komisi. Contoh lainnya adalah jasa pengurusan transportasi.</p><p>PPN dengan besaran tertentu juga disebut PPN final. Tarifnya disebut tarif PPN final atau tarif efektif, berbeda dengan tarif umum PPN, ditentukan secara khusus melalui Peraturan Menteri Keuangan. Secara logis, seharusnya tarif PPN final jauh di bawah tarif umum yang 11% atau 12%.</p><p>UU PPN pasal 9A ayat (2) mengatur PM atas perolehan BKP/JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, yang berhubungan dengan penyerahan oleh PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dikreditkan.</p><p>Tidak adanya kredit pajak inilah yang dimaksud dengan penyederhanaan administrasi perpajakan. PKP dengan kriteria tertentu hanya perlu memungut dan menyetorkan hasil pemungutannya ke kas negara, serupa dengan PPh final yang berlaku bagi wajib pajak dengan peredaran usaha tertentu.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3754186553393744930.post-2094797834014676862023-07-21T08:00:00.026+07:002023-07-21T08:00:00.125+07:00PPh pasal 22 dalam jual-beli kertas<p>PMK-34/PMK.010/2017 mengatur badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri kertas menjadi salah satu pemungut <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/pph-pasal-22.html">PPh pasal 22</a>. Besarnya pungutan PPh pasal 22 atas penjualan kertas oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri kertas kepada distributor di dalam negeri adalah 0,1% dari jumlah yang sama dengan dasar pengenaan PPN, terutang dan dipungut pada saat penjualan.</p><p>Ketentuan di atas mengatur produsen kertas sebagai pemungut PPh pasal 22, dan distributor kertas (pembeli) adalah pihak yang dipungut. Ya, Anda bisa dipungut pajak penghasilan pada saat membeli barang yang nantinya akan dijual kembali.</p><p>PPh pasal 22 atas penjualan kertas tidak bersifat final, pihak yang dipungut bisa mengkreditkan pungutan tersebut atas PPh terutang pada akhir tahun.</p><p>Mengapa tiba-tiba WSD mengangkat produsen kertas dan distributor kertas? Artikel ini hanya memberikan gambaran penerapan PPh pasal 22 yang sebenarnya memiliki cakupan yang luas dengan tarif yang juga beragam.</p><p>Sebagai contoh, pada tanggal 17 Juli 2023 PT Kertas LetJet (PT KL) menjual secara kredit kertas HVS kepada CV Sarjana Muda (CV SM) dengan harga jual Rp100.000.000. Baik PT KL maupun CV SM adalah pengusaha kena pajak (PKP).</p><p>Dengan adanya ketentuan di atas, PT KL harus menerbitkan tiga dokumen pada saat pengiriman kertas: faktur tagihan (invoice) senilai Rp111.100.000, faktur pajak senilai Rp11.000.000, dan bukti pemungutan PPh pasal 22 senilai Rp100.000.</p><p>Faktur tagihan (invoice) adalah dokumen yang dirancang sendiri dan dihasilkan dari sistem akuntansi PT KL. Faktur pajak adalah dokumen standar sesuai ketentuan PPN yang dihasilkan dari aplikasi e-Faktur. Bukti pemungutan PPh pasal 22 adalah dokumen standar sesuai ketentuan PPh yang dihasilkan dari aplikasi e-Bupot Unifikasi. <a href="https://www.warsidi.com/2023/07/e-bupot-unifikasi.html">Kode objek</a> pajak untuk penjualan kertas oleh produsen adalah 22-100-11.</p><p>Sistem akuntansi PT KL membukukan pengiriman kertas sebagai berikut:</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Debit: Piutang Usaha Rp111.100.000</li><li>Kredit: Penjualan Rp100.000.000</li><li>Kredit: Utang PPh Pasal 22 Rp100.000</li><li>Kredit: Pajak Keluaran Rp11.000.000</li></ul><p></p><p>Penjualan sejumlah Rp100.000.000 menjadi bagian dari peredaran usaha dalam laporan laba-rugi komersial PT KL. Neraca PT KL juga melaporkan piutang usaha sejumlah total tagihan Rp111.100.000.</p><p>Utang PPh pasal 22 selain dilaporkan di neraca juga termasuk yang disampaikan dalam SPT PPh unifikasi masa pajak Juli 2023. PT KL harus menyetorkan semua hasil pemungutan PPh pasal 22 sebelum menyampaikan SPT PPh unifikasi masa pajak Juli 2023.</p><p>Pajak Keluaran adalah akun sementara yang pada akhir bulan dikurangi dengan Pajak Masukan untuk menentukan PPN kurang atau lebih bayar. Pajak Keluaran, Pajak Masukan, dan PPN Kurang atau Lebih Bayar dilaporkan dalam SPT masa PPN.</p><p>Bagaimana dengan pembukuan di CV SM? Penerimaan barang dagangan berupa kertas, faktur tagihan, faktur pajak, dan bukti pemungutan PPh pasal 22 dari PT KL dibukukan sebagai berikut.</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Debit: Persediaan Barang Dagangan Rp100.000.000</li><li>Debit: PPh Pasal 22 Rp100.000 (tidak final)</li><li>Debit: Pajak Masukan Rp11.000.000</li><li>Kredit: Utang Usaha Rp111.100.000</li></ul><p></p><p>Harga pokok persediaan bagi CV SM sama dengan harga jual bagi PT KL. Pada saat CV SM menjual kembali kertas kepada pelanggannya, harga pokok persediaan menjadi biaya yang dapat dikurangkan bagi CV SM.</p><p>PPh Pasal 22 adalah akun sementara. Didukung dengan bukti pemungutan PPh pasal 22, saldo akun PPh Pasal 22 pada akhir tahun dikreditkan (dikurangkan) atas jumlah PPh Terutang pada akhir tahun.</p><p>Pajak Masukan CV SM juga merupakan akun sementara yang dikreditkan (dikurangkan) terhadap Pajak Keluaran CV SM pada akhir bulan. Pajak Masukan itu juga menjadi bagian dari SPT masa PPN yang dilaporkan oleh CV SM.</p><p>Perhatikan, mekanisme pemungutan di atas, baik PPN maupun PPh pasal 22, memungkinkan DJP untuk mengecek kepatuhan kedua belah pihak yang terlibat dalam transaksi.</p><p>Anda juga bisa mencermati, tarif pemungutan PPh pasal 22 kecil saja, yaitu 0,1%, dan dipungut pada saat membeli barang dagangan. Selain untuk mendapatkan setoran pajak sepanjang tahun dari pemungut, tujuan mekanisme pemungutan adalah untuk menjaring pihak yang dipungut, dalam contoh di atas adalah CV SM, ke dalam sistem perpajakan.</p><p>Kita lanjutkan contoh di atas dari pihak CV SM. Ingat kembali, kertas HVS diterima pada tanggal 17 Juli 2023. CV SM adalah salah satu rekanan Pemerintah Kabupaten Banyumas. Pada tanggal 20 Juli 2023, semua kertas di atas diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Banyumas dengan harga jual Rp125.000.000.</p><p>CV SM adalah PKP, dan kali ini CV SM bertransaksi dengan bendahara pemerintah. Ketika membuat faktur pajak, admin pajak CV SM harus menggunakan awalan kode faktur 020. Nilai faktur pajak adalah Rp13.750.000 [= 11% × Rp125.000.000].</p><p>CV SM menerbitkan tagihan dan faktur pajak dan membukukan penyerahan kertas sebagai berikut.</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Debit: Piutang Usaha Rp138.750.000</li><li>Debit: Harga Pokok Penjualan Rp100.000.000 (dapat dikurangkan)</li><li>Kredit: Penjualan Rp125.000.000 (objek PPh)</li><li>Kredit: Persediaan Barang Dagangan Rp100.000.000</li><li>Kredit: Pajak Keluaran Rp13.750.000</li></ul><p></p><p>Anda harus memahami bendahara pemerintah merupakan pemungut PPN dan juga pemungut PPh pasal 22. Dengan statusnya sebagai pemungut PPN, meskipun CV SM sebagai PKP menerbitkan faktur pajak (dengan kode transaksi 020), yang menyetorkannya adalah bendahara pemerintah dengan SSP atas nama CV SM.</p><p>Pada saat pembayaran atas pembelian barang oleh instansi pemerintah, bendahara pemerintah juga harus memungut dan menyetorkan PPh pasal 22 sebesar Rp1.875.000 [= 1,5% × Rp125.000.000].</p><p>Sebagai contoh, pembayaran dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Banyumas pada tanggal 15 Agustus 2023. Jumlah yang diterima CV SM adalah harga jual dikurangi pungutan PPh pasal 22, yaitu Rp123.125.000 [= Rp125.000.000 – Rp1.875.000].</p><p>Berdasarkan bukti pembayaran, bukti pemungutan, dan surat setoran pajak (SSP) PPN, dari Pemerintah Kabupaten Banyumas, CV SM membukukan sebagai berikut.</p><p></p><ul style="text-align: left;"><li>Debit: Kas Rp123.125.000</li><li>Debit: PPh Pasal 22 Rp1.875.000</li><li>Debit: Pajak Keluaran Rp13.750.000</li><li>Kredit: Piutang Usaha Rp138.750.000</li></ul><p></p><p>Perhatikan, Pajak Keluaran dibatalkan (didebit) berdasarkan SSP PPN dan dikredit (dikurangkan) terhadap Piutang Usaha. PPh Pasal 22 didebit sejumlah bukti pemungutan Rp1.875.000. Pungutan tersebut tidak final, CV SM bisa mengkreditkan (mengurangkan) total pungutan PPh pasal 22 selama satu tahun terhadap PPh terutang pada akhir tahun.</p><p>Perhatikan juga, sebagai distributor kertas Anda bisa dipungut PPh pasal 22 dua kali. Pertama adalah pada saat membeli barang dagangan langsung dari produsen, dan kedua adalah ketika menjualnya kembali kepada pemungut PPh pasal 22.</p>Unknownnoreply@blogger.com0